Kamis, 10 Juni 2010

STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

EDUTAINMENT DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Nilai-Nilai Edutainment Dalam Kehidupan Rasulullah SAW
Rasulullah saw. sebagai figur sentral dalam pendidikan Islam telah menyadari bahwa rasa senang dan bahagia memainkan peran yang menakjubkan dalam diri seseorang, dan memberikan pengaruh yang kuat dalam jiwanya. Menanamkan kebahagiaan dan kenyamanan dalam diri seseorang akan menjadikan bakatnya teraktualisasi secara optimal. Rasulullah saw. telah menunjukkan bagaimana kenyamanan jiwa menjadi jalan untuk menyingkap bakat dan melejitkannya. Banyak contoh dan teladan yang bisa dikemukakan tentang hal ini, khususnya pada era pengembangan pendidikan Islam di Madinah.
Setelah Fath Makkah (penaklukkan kota Mekkah), Rasulullah memerintahkan Bilal naik ke atas Ka'bah untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya. Di sela-sela itu, sebagian kaum musyrikin Quraisy mengolok-olok dan menirukan suara Bilal dengan nada marah. Di antara mereka adalah Abu Mahdzurah Al-Jumahi Salamah bin Mu'ir yang memiliki suara paling bagus. Ketika ia mengolok-olok adzan, Rasulullah mendengarnya, dan meminta agar yang bersangkutan dibawa ke hadapan beliau. Sesampai di hadapan Nabi saw., Abu Mahdzurah menduga bahwa ia pasti dibunuh. Namun yang terjadi tidaklah demikian, Nabi mengusap ubun-ubun dan dadanya dengan tangan beliau yang mulia. Abu Mahdzurah berkata, "Hatiku bergetar dan mulai dipenuhi dengan kekaguman dan keimanan, dan saat itu saya mengetahui dan meyakini bahwasanya beliau adalah Rasulullah saw.," lalu Rasul mengumandangkan adzan di depannya dan mengajarkan kepadanya, serta memintanya untuk mengumandangkan adzan bagi penduduk Makkah pada saat umurnya 16 tahun.
Dalam paparan di atas, ketika Rasul mengusap ubun-ubun dan dada Abu Mahdzurah, hal itu telah menjadikannya merasakan getaran keimanan, ketenangan dan kenyamanan psikologis, sehingga ia kemudian menjadi muadzin bagi penduduk Makkah. Dengan mewujudkan kenyamanan psikologis bagi anak, kecintaan, kelemahlembutan, dan perhatian kepadanya memungkinkan para pendidik untuk menyingkap bakat dan potensinya. Lalu, bagaimanakah cara Rasulullah saw. dalam menanamkan kesenangan dan kebahagiaan dalam jiwa anak? Dari berbagai riwayat yang ada, bisa diidentifikasi berbagai cara dan langkah yang telah beliau tempuh, di antaranya:
1. Memberikan kemudahan dan suasana gembira
Prinsip ini dapat dijabarkan dari sabda Nabi Muhammad saw. kepada sahabat beliau yang diutus untuk melakukan dakwah kepada gubernur Romawi di Damaskus, yaitu Mu'azd Ibn Jabal dan Abu Musa al-Asy'ary, sebagai berikut.
عَنْ اَنـَس بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يـَـسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبـَشِّـرُوْا وَلاَ تـُنَـفِّـرُوْا (رواه البخارى)
(Permudahlah mereka jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka menjauhi kamu. H.R. Bukhari)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة: 185)
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran."
Prinsip memberikan kemudahan ini tergambar juga dalam pengajaran Rasulullah saw. kepada para sahabatnya, seperti yang bisa dilihat dari riwayat-riwayat berikut:
a. Muslim di dalam kitab Shahihnya (pada bab yang menerangkan tentang sikap cerdas Rasulullah dalam memberikan nasihat) meriwayatkan dari al-A'masy, dari Syaqiq Abu Wail, dia berkata:
"Pada suatu saat kami tengah duduk menunggu di samping pintu rumah Abdullah ibn Mas'ud, Yazid ibn Mu'awiyah al-Nakha'i lewat di dekat kami, maka kami berkata: Tolong beritahu Abdullah bin Mas'ud bahwa kami menunggunya. Maka dia pun menyampaikannya, sehingga tidak berapa lama kemudian Abdullah ibn Mas'ud keluar menemui kami, lalu dia berkata: "Aku telah diberitahu bahwa kalian menunggu. Sebenarnya aku telah mengetahui kedatangan kalian, namun aku khawatir saat ini kalian akan merasa bosan belajar kepadaku. Karena, sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri selalu memilih waktu dan memperhatikan keadaan kami (sebelum beliau menyampaikan pelajaran), sehingga tidak setiap hari beliau menasihati (mengajar) kami lantaran khawatir kami akan merasa bosan."
b. Bukhari di dalam kitabnya al-'Ilm (pada bab yang menjelaskan tentang hari-hari tertentu bagi seorang ahli ilmu) telah meriwayatkan dari Manshur, dan dari Syaqiq Abu Wail, dia berkata:
"Abdullah ibn Mas'ud selalu memberi pelajaran kepada orang-orang setiap hari Kamis. Maka seorang laki-laki berkata kepadanya: "Hai Abu Abdurrahman (sebutan bagi Abdullah ibn Mas'ud), sungguh kami menyukai perkataanmu dan selalu merindukannya, maka, demi kecintaan kami itu, akan menjadi lebih baik jika engkau menasihati kami setiap hari.' Dia kemudian berkata: 'Aku hanya tidak ingin kalian bosan dan sesungguhnya aku berusaha menjaga waktu dan keadaan kalian sebagaimana Rasulullah melakukannya, hal itu tidak lain demi menjadikan kalian agar tidak bosan."
c. Muslim meriwayatkan dari dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda: "Permudahlah (setiap urusan) dan janganlah kalian mempersulit, berikanlah kabar gembira dan janganlah kalian membuat mereka lari."
Prinsip memudahkan dan menciptakan suasana gembira dalam pembela-jaran bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
a. Menciptakan suasana akrab
Mempelajari materi keilmuan membutuhkan peran akal dan hati, demi untuk menajamkan ingatan serta menggali materi pelajaran yang terpendam. Bila pembelajar mempunyai keterbatasan berpikir dalam menyerap pelajaran, maka sebaiknyalah seorang guru memasukkan kata-kata yang mengasyikkan di sela-sela belajar. Hal ini agar dapat mengusir kejenuhan dan kebosanan yang menegangkan suasana kelas, dan supaya bisa mengembalikan lagi semangat belajar anak untuk mengikuti materi pelajaran.
Beberapa manfaat memasukkan kata-kata yang menyenangkan (humor/ gurauan) di sela-sela belajar, antara lain: bisa mengusir kebosanan dan kejenuhan; menyegarkan (refreshing) hati dan ketegangan dan keseriusan; memberikan waktu rehat bagi guru; mengasah hati dan memberikan suasana baru untuk melanjutkan menyerap pelajaran; dan merubah suasana kelas yang kering dan menegangkan menjadi santai. Humor (bergurau) adalah bergembira bersama orang lain dengan tanpa merugikan dan melecehkannya. Imam Nawawi berkata, "Ketahuilah bahwa humor yang dilarang adalah humor yang keterlaluan, karena hal itu dapat mengeraskan hati, lupa mengingat Allah, dan menyia-nyiakan waktu. Sedangkan humor-humor yang selain itu boleh saja, karena Rasulullah saw. juga pernah melakukan hal itu demi untuk kebaikan mukhatab dan supaya lebih terkesan familiar. Hal itu merupakan sunnah Nabi saw. dan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh guru ketika memberikan materi kepada anak didiknya.
Al-Ghazali berkata, "Jika kamu melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. yaitu bercanda dengan kata-kata yang benar, tidak menyakitkan hati, tidak keterlaluan, serta tidak sering dilakukan, hal itu tidaklah berdosa. Akan tetapi kekhilafan manusia yang sangat fatal adalah ketika manusia terlalu sering bercanda dan keterlaluan bahkan malah mengaku-ngaku bahwa tindakan mereka itu juga berdasarkan dari tindakan Rasulullah saw".
Ada beberapa hadits Nabi saw yang menceritakan tentang sendau gurau beliau terhadap keluarganya serta sahabat-sahabatnya, antara lain:
1) Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang lelaki dari suku Badui bernama Zahir, ingin memberikan hadiah kepada Rasulullah saw, yaitu suatu hadiah spesial dari suku Badui, lalu Nabi saw mempersiapkan hal itu ketika ia hendak keluar, lalu beliau berkata, "Zahir adalah Badui kita dan kita adalah tamunya".
2) Dari Anas ibnu Malik, bahwasanya seorang lelaki meminta Rasulullah untuk mengangkatnya ke atas unta. Lalu Rasulullah berkata, "Saya akan mengangkatmu ke atas anak unta!", lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah apa yang bisa saya lakukan terhadap anak unta itu?", lalu beliau berkata, "Apakah seekor unta tidak lahir dari induk unta betina?"
Menjadikan sebuah pembelajaran menjadi sesuatu yang menye-nangkan adalah sangat penting, karena belajar yang menyenangkan merupakan kunci utama bagi individu untuk memaksimalkan hasil yang akan diperoleh dalam proses belajar. Bobbi De Porter dan Mike Hernacki mengangkat hal tersebut sebagai falsafah dasar yang harus dikembangkan dalam pembelajaran. Pembelajaran akan efektif, bila proses dan pelaksanaannya dilakukan dengan menyenangkan. Senada dengan falsafah yang diangkat oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, maka Al-Syaibany, seorang pakar pendidikan Islam, memandang bahwa sangat penting membuat aktivitas pendidikan menjadi suatu proses yang menggembirakan dan menciptakan kesan baik pada diri pelajar. Pendapat ini berlandaskan firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ (الزمر: 53)
“Katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”
Al-Syaibany menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: “Katakanlah wahai hamba-Ku yang berlebih-lebihan terhadap diri mereka, jangan kamu putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah memasukkan kegembiraan di hati mukmin.” Penjelasan dari Al-Syaibani ini sejalan dengan sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa menggembirakan hati orang beriman adalah merupakan sebuah perbuatan yang bernilai tinggi.
اَحَبُّ اْلعِبَادِ اِلىَ اللهِ تِعَالىَ أَنْفَعُ النَّاسِ لِلنَّاسِ وَأَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ اِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلىَ قَلْبِ اْلمُؤْمِنِ
“Manusia yang paling dicintai Allah ialah manusia yang paling berman-faat bagi manusia lain. Perbuatan yang paling utama ialah memasukkan rasa gembira ke dalam hati orang yang beriman”.
Tidak jauh berbeda dengan falsafah yang diangkat oleh Al-Syaibany tersebut, maka Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl juga mengangkat hal ini sebagai salah satu filosofi Accelerated Learning. Syarat bagi pembelajaran yang efektif, menurut mereka, adalah dengan menghadirkan lingkungan “seperti masa kanak-kanak”, yang mendukung dan menggembirakan.
Pandangan ini dipromosikan oleh seorang ahli psikologi terkenal, Mihaly C., yang selama lebih dari 20 tahun mengkaji apa yang disebut “aliran”, yaitu keadaan konsentrasi yang mengantarkan pada pengalaman yang optimal, suatu kesadaran yang demikian terfokus sehingga pelakunya terserap penuh dalam suatu kegiatan. Ini terjadi ketika seseorang menikmati perasaan yang sangat nyaman tanpa keter-paksaan dan menjalankan kegiatan dengan puncak kemampuannya. Apabila proses belajar mengembirakan, maka motivasi akan tinggi. Itulah sebabnya mengapa peran lingkungan sangat penting dan mengapa guru harus memperlihatkan antusiasme mereka kepada anak didik.
Sejalan dengan konsep dan pemikiran di atas, seorang pemikir muslim, Dr. Saleh Muntasir, menegaskan bahwa dalam penyampaian materi pelajaran hendaknya seorang guru (pendidik) menghindarkan ketegangan dan suasana yang menakutkan pada anak didik. Berikan mereka latihan-latihan (practice) yang intensif, contoh dan tingkah laku yang baik, serta tumbuhkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Untuk mencapai tujuan-tujuan belajar dengan mudah, maka lingkungan kelas harus ditata sedemikian rupa menjadi lingkungan yang kondusif, yang dapat mempengaruhi siswa secara positif dalam belajar. Lingkungan belajar yang kondusif dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar, penyajian bahan pelajaran dapat disuguhkan dengan penuh makna serta memberi kesan tersendiri kepada siswa.
b. Komunikasi yang ramah
Sikap ramah ditunjukkan dalam ucapan yang lembut, tindakan dan sikap yang memudahkan; lawannya adalah bersikap kasar. Jiwa manusia pada dasarnya cenderung kepada keramahan, kelemah-lembutan, tutur kata yang halus serta jauh dari kekerasan dan kekasaran. Oleh sebab itu, sebaiknyalah seorang guru memperhatikan hal ini dan mengaplikasikan-nya kepada anak didiknya. Bersikap kasar bagi seorang guru merupakan hal yang fatal dan membahayakan, apalagi terhadap anak didik, karena hal itu dapat mencetak kepribadian yang buruk. Artinya, jika seorang guru mengajar dengan cara kekerasan dan paksaan terhadap anak didik, maka hal itu menjadikan anak didiknya patah semangat, tidak aktif, malas dan senang berbohong , serta ilmu yang berkembang pun menjadi lebih ke arah makar.
Di antara sifat ramah yang diteladankan Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya adalah seperti dalam riwayat berikut: Anas ra. berkata, "Ketika kami sedang berada di Masjid bersama Rasulullah saw tiba-tiba datang seorang Badui, lalu ia kencing berdiri di dalam Masjid. Lalu para sahabat itu menegurnya: Pergi... pergi...! Lalu Rasulullah saw berkata, "Jangan memotong kencingnya, panggillah dia!". Para sahabat yang ada di situ akhirnya meninggalkannya, sehingga orang Badui itu melanjutkan kencingnya. Kemudian Rasulullah saw. memanggilnya dan berkata kepadanya, "Ini masjid! tidak baik untuk dikencingi atau pun sesuatu yang kotor, seharusnya Masjid adalah tempat untuk berdzikir kepada Allah, untuk shalat dan untuk membaca Al-Quran". Anas melanjutkan, "Beliau lalu menyuruh seorang lelaki dari kaum itu untuk membawakan seember air dan menyiramnya". Anas berkata, "Setelah mengerti, orang Badui itu lalu berkata, "Demi bapakku dan ibuku! Beliau tidak mencela, tidak marah dan tidak memukul".
Hadits ini menjelaskan tentang sikap lembut dan ramah Nabi saw. terhadap orang Badui yang kencing di masjid, serta cara beliau memberi pelajaran yang baik untuknya. Perlakuan itu diberikan karena orang Badui tersebut masih buta hukum, sehingga Rasulullah saw. tidak bersikap keras kepadanya, serta tidak mencelanya, tetapi beliau memanggilnya dan mengajarkan kepadanya suatu keramahan yang belum pernah dialaminya. Setelah orang Badui itu mengerti, sikap itu ia gambarkan dengan ucapan, "Demi bapak dan Ibuku! Beliau tidak mencela, memarahi, dan tidak memukul". Kalimat tersebut merupakan bukti bahwa orang Badui itu terkesan atas keramahtamahan dan cara pengajaran Nabi saw yang baik.
c. Kehalusan dan kelembutan (dalam ucapan dan perilaku)
Firman Allah:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنــفْــَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ (ال عمران: 159)
"Maka disebabkan rahmat dan Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka ..."
Perkataan yang kotor, cacian, serta memperolok-olok orang lain merupakan tindakan yang tidak disukai dan harus dihindari, lebih-lebih oleh seorang guru yang menjadi teladan bagi anak didiknya. Jika seorang guru mengucapkan kata-kata kotor dan menyakitkan, meskipun dalam kadar yang kecil saja, maka hal itu sudah merupakan aib baginya, apalagi jika ia melakukan dalam skala yang lebib luas. Bagaimana pun, ucapan seorang guru pasti akan mempengaruhi anak didiknya, baik dari segi positif maupun negatif. Perkataan yang kotor, dan penghinaan akan berdampak negatif bagi anak didiknya, bahkan bisa merusak jiwanya.
d. Memperlakukan anak dengan kasih sayang
Abu Hurairah telah menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah saw. mencium al-Hasan, sedang di hadapan beliau saat itu terdapat al-Aqra' ibnu Haabis yang sedang duduk, lalu al-Aqra' berkata: "Sesungguhnya saya punya sepuluh orang anak, tetapi saya belum pernah mencium seorang pun di antara mereka." Rasulullah saw. memandang ke arahnya dan bersabda:
مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ (رواه البخارى)
(Barangsiapa yang tidak punya rasa kasih sayang, niscaya tidak akan dikasihsayangi.)
Tsabit telah meriwayatkan dari Anas yang telah menceritakan bahwa Nabi saw. mengambil putranya, Ibrahim, lalu menciumi dan membelainya. Di antara anjuran Nabi kepada para ayah untuk menyayangi anak-anak mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas. Disebutkan bahwa pernah ada seorang wanita datang kepada 'Aisyah, lalu 'Aisyah memberinya tiga butir kurma. Wanita itu pun memberikan kepada dua anaknya masing-masing sebiji kurrna dan sisanya untuk dirinya sendiri. Buah kurma itu langsung dimakan oleh kedua anaknya, lalu keduanya memandang kepada ibunya, maka sang ibu memahami anaknya, lalu membelah sebiji buah kurma itu menjadi dua bagian dan memberikan kepada masing-masing dari dua anaknya itu separoh buah kurma. Kemudian Nabi saw. datang dan 'Aisyah menceritakan peristiwa itu kepadanya, maka Nabi saw. bersabda:
وَمَا يُعْجِبُكَ مِنْ ذَلِكَ لَـقَدْ رَحِمَـهَا الله بِرَحْمَتِهَا صَبِـيِّـيْــهَا (رواه البخارى)
“Mengapa kamu mesti heran dengan sikapnya? Sesungguhnya Allah telah merahmatinya karena kasih sayangnya kepada kedua anaknya itu”.
e. Bercengkerama dengan anak
Banyak riwayat yang menunjukkan sikap Nabi saw. Yang amat toleran terhadap anak. Beliau sering menyapa anak-anak dari sahabat-sahabatnya. Beliau sering menggendong al-Hasan dan al-Husain di pundaknya. Beliau suka mencium, bercengkerama, dan bermain dengan mereka. Misalnya, suatu saat Nabi saw. sedang berbaring, tiba-tiba al-Hasan dan al-Husain datang, lalu keduanya bermain-main di atas perutnya. Keduanya sering menaiki punggung beliau saat beliau sedang sujud dalam shalatnya, bahkan beliau pemah merangkak, sedang al-Hasan dan al-Husain menaiki punggungnya, lalu bersabda:
نـِعْـمَ الرَّاكِــبَانِ هُمَا وَأَبـُوْهُمَا خَـيْرٌ مِنْهُمَا (رواه البخارى)
“Sebaik-baik unta adalah unta kalian berdua dan sebaik-baik penunggang adalah kalian berdua”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw. pernah menimang-nimang al-Hasan dan al-Husain seraya mendendangkan nyanyian yang artinya: "Hai kecilku, hai kecilku, naiklah, hai si mata kecil!" Sang anak pun menaiki tubuhnya dan meletakkan kedua kakinya di atas dada beliau yang dalam posisi terlentang. Dalam Hadits ini terlihat Rasulullah bermain dan menimang-nimang al-Hasan dengan kedua tangannya yang mulia untuk menaikkannya ke dadanya sembari mengucapkan kata-kata: "Naiklah, hai kecilku, ke atas dadaku! Naiklah, hai si mata kecil yang lucu!"
Dengan bercengkerama dan sikap lemah-lembut kepada anak-anak serta menyesuaikan diri dengan berpura-pura menjadi anak kecil yang sebaya dengannya, beliau menyalurkan kehangatan dan kasih sayang yang tulus ke dalam jiwa anak-anak, agar nanti bila besar tidak tumbuh menjadi orang yang berhati kecil, keras, dan kejam. Tentang keutamaan pribadi Muhammad saw. ini, Allah berfirman:
وَإِنَّـكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِـيْمٍ (القلم: 4)
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung."
2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
Lingkungan yang kondusif untuk belajar adalah lingkungan yang relaks (tanpa stres), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namun harapan untuk sukses tinggi. Prinsip ini sejalan dengan konsep free-risk-environment dari teori belajar Quantum. Sebagai agama yang sangat memperhatikan pada pendidikan, Islam sering menggunakan metode pemberian suasana sesuai tempat dan waktu tertentu. Misalnya, Allah menunjukkan bahwa memeluk Islam itu tidak melalui paksaan melainkan atas dasar kesadaran dan keikhlasan, dengan firman-Nya:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ (البقرة: 256)
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."
Islam bukanlah agama yang mempersulit kehidupan manusia, melainkan mempermudah kehidupan mereka. Dalam kemudahan itu Allah senantiasa mendorong manusia untuk bekerja keras, seperti dalam firman-Nya berikut:
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ (الحج: 78)
"Dan bekerja keraslah (berjihadlah) kamu pada jalan Allah dengan sungguh-sungguh. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."
Allah memerintahkan agar orang-orang yang telah beriman digembirakan dengan gambaran kehidupan akhirat (surga) yang serba membahagiakan.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ (البقرة: 25)
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya."
Ada tiga prinsip yang bisa dipahami dari ayat-ayat Al-Quran di atas, yaitu prinsip tidak memaksa, memudahkan dan menggembirakan. Ketiga prinsip ini juga bisa diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana Ibnu Abdun pernah menasihatkan bahwa mengajar itu memerlukan pengertian, pengalaman, dan kehalusan hati. Ibnu Jamaah menasihatkan agar guru jangan mengajar pada waktu lapar, haus, sedih, marah, atau tidak tenang pikirannya. Pelajaran yang diberikan jangan terlalu lama, sehingga menjemukan atau bahkan terlalu singkat. Kemampuan pembelajar harus diperhatikan, janganlah suaranya terlalu keras atau terlalu lemah, sehingga tak terdengar.
Dalam iklim pembelajaran yang kondusif, kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh siswa tidak membuat ia disudutkan, atau bahkan dianggap bodoh, tetapi kesalahan-kesalahan siswa itu dipandang sebagai umpan-balik (feedback). Guru yang baik akan berkata seperti ini: "Sebenarnya bukan kesalahan itu yang saya pikirkan, tetapi bagaimana kamu sampai pada kesimpulan seperti itu?" Dengan kata lain, lebih penting memfokuskan diri pada proses berpikir ketimbang pada jawaban siswa, karena lebih penting mendapatkan pendekatan yang benar dari pada satu jawaban tertentu saja.
Guru seharusnya mendorong para siswa menganalisis kesalahan-kesalahan mereka untuk melihat apakah ada suatu kecenderungan untuk melakukan kesalahan-kesalahan serupa di waktu yang akan datang. Setelah itu, kesalahan-kesalahan lalu diperbaiki dengan penuh kesadaran oleh siswa sendiri, disertai pemahaman atas jawaban dan alternatif yang benar. Dengan begitu, diharapkan prestasi dan nilai para siswa akan meningkat.
Dalam kajian mengenai cara belajar anak ini, Gordon Wells menyimpulkan, bahwa bila anak-anak diharapkan melakukan transisi dengan mudah dan percaya diri, mereka haruslah mengalami lingkungan sekolah sebagai sesuatu yang menggairahkan dan menantang. Dalam lingkungan ini, sebagian besar usaha mereka harus berhasil, sehingga mendapat pengakuan dan mendapat penghargaan terhadap apa yang dapat mereka lakukan. Anak-anak yang merasa (atau dibuat merasa) tidak diterima, tidak mendapat pengakuan, dan tidak kompeten akan sulit memupuk rasa percaya dirinya, dan akibatnya kemampuan mereka untuk memanfaatkan kesempatan belajar sangat rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Ketika seorang anak pertama kali mencoba bersepeda tanpa roda-roda bantuan dia terlihat asyik dan merasa sangat senang. Perasaan ini juga dialami oleh hampir setiap orang. Momen tersebut merupakan contoh belajar yang menggembirakan yang begitu sering terjadi dalam masa kanak-kanak. Anak-anak berusia dua tahun belajar dengan cara melakukan, menguji, menyentuh, membaui, berayun-ayun, berbicara, bertanya, dan mencoba-coba. Semua itu dilakukan dengan kecepatan yang mengagumkan. Mereka sangat mudah diarahkan, dan menyerap informasi dari segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, begitu mereka menyelesaikan TK, pendidikan sering mulai membosankan. Keasyikannya berangsur-angsur sirna. Perasaan gembira mulai terputus dari belajar, dan belajar menjadi pengalaman yang datar.
Pada umumnya pembelajaran di SD, anak-anak tidak dikondisikan untuk mengeksplorasi, berdiskusi, bertanya, atau berpartisipasi. Mereka lebih sering diperintahkan untuk duduk manis, dalam barisan bangku yang lurus, mendengarkan dan memperhatikan guru. Ketika di SMP (saat siswa-siswa "dipersiapkan" untuk masuk di SMA) mereka mulai dibebani dengan "kerja keras" dan "bersikap serius" dalam situasi belajar di sekolah. "Dengarkan perintah, jangan berbicara sampai diminta, duduk di tempat, jangan mengobrol ...", inilah ungkapan-ungkapan guru yang hampir selalu mereka dengar di kelas setiap hari.
Guru-guru yang baik tentu tahu bahwa hal ini bukanlah lingkungan yang baik dalam belajar. Oleh karena itu, mereka menyiapkan ruang kelas yang menyediakan fasilitas belajar yang menyenangkan. Mereka menggunakan bunga-bunga segar untuk menciptakan aroma dan aneka warna. Mereka menghiasi dinding dengan berbagai poster berwarna, menyuguhkan seluruh poin penting yang harus dipelajari, dalam bentuk kata-kata maupun gambar, karena mereka tahu, proses belajar banyak berlangsung di pikiran bawah sadar. Siswa menyerap bahan pelajaran tanpa memikirkannya secara sadar. Semua itu sangat berlawanan dengan landasan belajar yang sebenarnya, yakni ada unsur ketakjuban, penemuan, permainan, menanyakan sejuta pertanyaan, terlibat di dalamnya dan kegembiraan. Ketakjuban dan kegembiraan adalah alat belajar asli setiap orang.
Saat ini, masih belum terlambat untuk membalikkan situasi ini dan mengembalikan suasana gembira ke dalam suasana belajar. Bagi banyak siswa, sudah cukup lama belajar menjadi hal yang membosankan. Ruang kelas tidak banyak mencuatkan kegembiraan menatap masa depan, suasana kelas yang membosankan, dan guru-guru yang tidak kreatif. Jika seorang guru secara sadar menciptakan kesempatan untuk membawa kegembiraan ke dalam pekerjaan dan profesinya, maka kegiatan mengajar dan belajar akan lebih menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah, dan bahkan dapat mengubah sikap negatif.
Dalam The Laughing Classroom, Loomans dan Kolberg menulis:
Mungkinkah sebagian masalah disiplin dewasa ini bersumber dari pendekatan terhadap proses belajar yang serius dan ketat? Seringnya, badut kelas atau siswa pengganggu dianggap guru sebagai masalah disiplin terbesar di kelas. Padahal, si pemberontak dan si badut mempunyai kesamaan yang jelas: mereka menolak menyerah kepada kebosanan belajar tanpa spontanitas dan tawa. Kebanyakan ulah mereka muncul akibat hasrat bawaan untuk adanya humor dan stimulasi di kelas.
Stockwell, seorang pelatih terkemuka dalam pendidikan dan bisnis gaya baru di Eropa, asal Liechtenstein, mengatakan bahwa poster berwarna yang didesain dengan baik itu sangatlah penting. "Slide OHP, slide 35 mm, dan flipchart memang bagus," katanya, "tetapi poster jauh lebih bagus, dan semuanya harus dipasang di dinding sebelum proses belajar dimulai. Poster adalah perangsang periferal. Kehadirannya yang konstan di ruang kelas akan menyampaikan muatannya ke dalam memori siswa, walaupun siswa tidak menyadarinya." Dia juga menekankan pentingnya psikologi warna. "Merah adalah warna peringatan; biru melambangkan kesejukan; kuning warna kecerdasan; hijau dan coklat memiliki efek menenteramkan, hangat, dan ramah. Jangan lupa bahwa poster yang efektif dapat membuat kesan yang kuat di dalam memori jangka panjang. Mereka menciptakan gambaran memori yang dapat dipanggil kembali ketika dibutuhkan, walaupun itu tidak pemah dipelajari secara sadar."
Anne Forester dan Margaret Reinhard, dua guru dari Kanada, dalam buku mereka yang berjudul, The Learners' Way, berbicara tentang "menciptakan sebuah iklim yang menyenangkan" di setiap ruang kelas. Mereka mengatakan bahwa variasi, kejutan, imajinasi, dan tantangan sangatlah penting dalam menciptakan iklim tersebut. "Mendatangkan tamu yang mengejutkan, melakukan perjalanan spiritual, kunjungan lapangan, program spontan untuk menambah pengayaan, di samping membaca, menulis, dan diskusi.
Selain itu, dianjurkan juga memanfaatkan musik untuk menciptakan suasana yang kondusif di ruang-ruang kelas. Christer Gudmundsson, seorang guru terkemuka di Swedia, menguatkan, "Suasana sejak siswa-siswa Anda memasuki ruang kelas haruslah benar-benar menyenangkan." Charles Schmid, seorang perintis metode-metode pengajaran baru dari San Francisco, California, mendapati bahwa musik pencipta suasana merupakan salah satu kunci utama untuk mencapai kecepatan belajar. "Dan ini dapat diterapkan di mana saja, dari prasekolah sampai perguruan tinggi, bahkan dalam seminar bisnis yang mengajarkan teknologi komputer."
Bila hal-hal di atas bisa dilaksanakan, maka ruang-ruang kelas tidak akan pernah sepi atau membosankan. Kebersamaan dan interaksi adalah komponen vital dari iklim yang menyenangkan. Penemuan, pembelajaran gaya baru, dan kegairahan mencapai prestasi menuntut ekspresi yang meyakinkan. Jika "iklim keasyikan" tersebut mampu dihadirkan oleh guru, maka begitu memasuki ruang kelas, maka para siswa akan merasakan suasana kondusif untuk proses belajar.
Dalam pendidikan Islam, upaya menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang kondusif ini, ditunjukkan Rasulullah saw. dengan senantiasa memperhatikan waktu dan kondisi yang tepat dalam menyampaikan pengajarannya, yakni disesuaikan dengan waktu dan kondisi pembelajar. Hal ini beliau lakukan agar mereka tidak bosan. Beliau juga selalu berusaha menjaga tujuan dan keseimbangan dalam proses pengajarannya. Penerapan hal itu, bisa dilihat dari riwayat-riwayat berikut:
a. Selalu memilih waktu dan memperhatikan keadaan pembelajar (sahabat)
Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari al-A'masy, dari Syaqiq Abu Wail, dia berkata:
"Pada suatu saat kami tengah duduk menunggu di samping pintu rumah Abdullah ibn Mas'ud, Yazid ibn Mu'awiyah al-Nakha'i lewat di dekat kami, maka kami berkata: Tolong beritahu Abdullah bin Mas'ud bahwa kami menungguinya. Maka dia pun menyampaikannya, sehingga tidak berapa lama kemudian Abdullah ibn Mas'ud keluar menemui kami, lalu dia berkata: 'Aku telah diberitahu bahwa kalian menunggu. (Sebenarnya aku telah mengetahui kedatangan kalian) namun aku khawatir saat ini kalian akan merasa bosan. Karena, sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri selalu memilih waktu dan memperhatikan keadaan kami (sebelum menyampaikan pelajaran), sehingga tidak setiap hari beliau menasihati (mengajar) kami lantaran khawatir kami akan merasa bosan."
b. Mengajar berdasarkan jadwal dan tidak setiap hari
Bukhari di dalam kitabnya al-'Ilm telah meriwayatkan dari Manshur, dan dari Syaqiq Abu Wail, dia berkata:
"Abdullah ibn Mas'ud selalu mengingatkan manusia (memberi pengajaran kepada mereka) setiap hari Kamis. Maka seorang laki-laki berkata kepadanya: "Hai Abu Abdurrahman (sebutan bagi Abdullah ibn Mas'ud), sungguh kami menyukai perkataanmu dan selalu merindukan-nya, maka, demi kecintaan kami itu, akan menjadi lebih baik jika engkau menasihati kami setiap hari.' Dia kemudian berkata: 'Aku hanya tidak ingin kalian bosan dan sesungguhnya aku berusaha menjaga waktu dan keadaan kalian sebagaimana Rasulullah melakukannya, hal itu tidak lain demi menjadikan kalian agar tidak bosan."
c. Mengajar secara selektif dan disesuaikan dengan kemampuan peserta didik
Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari 'Abdullah bin Amr bin al-'Ash, ia berkata:
"Ketika kami sedang berkumpul bersama Nabi, seorang pemuda datang dan menanyakan sesuatu kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, bolehkah saya mencium (isteri saya) ketika saya sedang berpuasa?' Nabi menjawab: Tidak boleh. Setelah itu datang seorang laki-laki tua dan bertanya tentang hal yang sama: 'Bolehkah saya mencium (isteri saya) ketika saya sedang berpuasa?' Nabi menjawab: 'Ya, boleh. Kami pun saling berpandangan (merasa heran), Rasulullah pun lalu menjelaskan: 'Saya tahu kenapa kalian saling berpan-dangan. (Ketahuilah) Sesungguhnya orang tua itu lebih dapat mengekang hawa nafsunya (hasrat seksual)."
Dalam kaitan ini, Al-Thusi berkata, "Seorang subjek didik tidak bisa memperoleh sesuatu yang tidak ia pahami. Karena itu, seorang guru harus mengawali aktivitas belajar dari hal yang paling dekat dengan pengetahuan dan pemahaman subjek didik. Dan hendaknya juga guru membatasi diri mengajarkan materi yang sesuai dengan kadar pemahaman subjek didiknya. la tidak boleh mengajarkan materi di luar kemampuan nalar subjek didik, sehingga bisa menjadikannya putus asa atau semakin bebal".
d. Menunggu kesempatan yang tepat atas hal yang hendak diajarkan.
Dalam pengajarannya, Rasulullah berusaha memadukan antara kesesuaian (konteks/momentum) dan pengetahuan yang hendak diajarkan, dengan harapan agar lebih jelas, lebih memahamkan, serta lebih memudahkan mereka (para sahabat) dalam menangkap sesuatu yang disampaikan. Penerapan hal ini bisa dilihat dalam riwayat berikut:
1) Menggambarkan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya
Muslim meriwayatkan dari 'Umar bin al-Khaththab r.a., dia mengatakan:
"Seorang anak yang tersesat pernah dibawa menghadap Nabi saw. Mengetahui anaknya ditemukan, ibu anak tersebut yang baru mengeluarkan air susunya, dengan segera mengambil anak itu, mendekap dan menyusuinya. Beliau kemudian bertanya: "Apakah kalian beranggapan bahwa wanita ini akan melemparkan anaknya sendiri ke dalam api neraka?" Kami menjawab: "Tidak, ia tidak akan melemparkannya.' Lalu beliau bersabda: "Sungguh, Allah lebih berbelas kasihan terhadap hamba-hamba-Nya daripada belas kasihan wanita ini terhadap anaknya sendiri."
Hadits di atas memperlihatkan betapa piawainya Rasulullah menggunakan kesempatan yang sangat tepat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di hadapan beliau untuk mengajarkan sesuatu hal kepada para sahabat. Pada hadits tersebut, beliau mengumpamakan antara kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya dengan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, beliau menggunakan momentum yang sangat tepat dalam mengajarkan sesuatu kasih sayang Allah kepada para sahabat. Cara demikian adalah lebih memudahkan dalam menangkap penjelasan mengenai sifat kasih sayang Allah dan kelemahlembutan-Nya terhadap semua makhluk. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran:
وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (البقرة: 208)
"Dan Allah adalah maha lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya."
2) Melihat Tuhan pada hari kiamat
Bukhari meriwayatkan dari Jarir bin 'Ab-dullah al-Bajaliy:
"Pada suatu malam saat kami duduk bersama Rasulullah, beliau memandangi bulan purnama lalu bersabda: 'Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian kelak pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan purnama itu. Tidak ada yang menghalangi kalian untuk memandangnya. Oleh karena itu, sekiranya kalian mampu untuk melaksanakan shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah (shalat itu). Kemudian beliau membaca Surat Qaf, ayat 39.
Pada hadits di atas, Nabi saw menggunakan momentum yang tepat untuk menjelaskan ihwal kepastian orang beriman dapat melihat Allah secara jelas kelak di akhirat. Beliau menganalogikan-nya seperti melihat terangnya bulan purnama yang beliau saksikan pada malam itu bersama para sahabat.
3. Menarik minat
Dalam menggugah minat anak didik diperlukan pembukaan yang menarik dalam langkah-langkah mengajar agar perhatian dan minat mereka bisa fokus kepada materi yang akan disampaikan guru. Pengalaman dan pelajaran yang telah diserap dalam pikiran mereka, dihubungkan dengan hal-hal baru yang hendak disajikan, merupakan jembatan yang menghubungkan pengertian-pengertian yang telah terbentuk dalam pikiran mereka, sehingga akan mempermudah daya tangkap terhadap hal-hal baru yang diajarkan oleh guru.
Dalam firman-firman Allah yang termaktub dalam Al-Quran banyak ditemukan metode Allah memberikan isyarat kepada manusia, yakni dengan menggunakan kata-kata yang mengandung tanbih (minta perhatian) yang biasanya diungkapkan pada awal sebuah surah, antara lain:
الـم (alif laam mim) –– كـهـيـعـص (kaf haa yaa'ain shad),
الـمص (alif laam mim shad), –– ن (nun),
الـر (alif laam ra), –– حمعسق (haa mim 'ain sin qaaf))
Kata-kata tersebut mengandung makna bahwa firman yang hendak disampaikan Allah kepada manusia adalah sesuatu yang penting karena mengandung permasalahan baru yang harus mereka perhatikan sepenuhnya. Dalam pembelajaran, upaya untuk menarik perhatian bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Melakukan komunikasi terbuka
Dalam penerapannya, seorang guru hendaknya selalu mendorong anak didik untuk membuka diri terhadap segala hal atau bahan-bahan pelajaran yang disajikan mereka, sehingga mereka dapat menyerapnya menjadi bahan apersepsi dalam pikirannya.
Dalam Al-Quran terdapat banyak firman Allah yang mendorong manusia untuk membuka hati, pikiran, perasaan, pendengaran, dan penglihatannya untuk menyerap pesan-pesan yang difirmankan Allah kepada mereka.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَـفْـقَـهُـوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْـعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ (الأعراف: 179)
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang temak, bahkan mereka lebih sesat lagi."
Dan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan praktis, Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً (الإسرآء: 36)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
b. Memberikan pengetahuan baru
Minat dan perhatian anak didik harus diarahkan kepada bahan-bahan pengetahuan yang baru bagi mereka. Dalam ajaran Islam terdapat prinsip pembaruan dalam belajar, baik tentang fenomena-fenomena alamiah maupun fenomena yang terdapat dalam diri mereka sendiri. Seperti studi tentang alam sekitar yang mengandung ilmu-ilmu baru, misalnya biologi, fisika, astronomi, mineralogi, botani, kimia, klimatologi, dan zoologi, menurut pembaruan dari hasil studi para ilmuwan di bidang masing-masing, terutama dikaitkan dengan kecanggihan ilmu dan teknologi modern saat ini. Misalnya, firman Allah berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ الله مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَآبـَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (البقرة: 164)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dan langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah keringnya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan."
Juga firman Allah yang mendorong manusia untuk menciptakan ilmu-ilmu alam, biologi dan psikologi, seperti berikut ini:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنــَّهُ الْحَقُّ (فصلت: 3)
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar."
c. Memberikan model perilaku yang baik
Anak didik dapat memperoleh contoh bagi perilakunya melalui peniruan yang tepat dalam proses belajar mengajar, misalnya seperti firman Allah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ (الأحزاب: 21)
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat..."
Masih banyak Hadits atau Sunah Nabi yang menunjukkan bahwa beliau mengajar umatnya dengan prinsip memberikan model untuk ditiru.
4. Menyajikan materi yang relevan
Menjamin bahwa subjek pelajaran adalah relevan sangatlah penting, karena siswa ingin belajar ketika dia melihat manfaat dan pentingnya subjek pelajaran itu. Pembelajaran yang berdasarkan prinsip bermakna, menjadikan anak didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan perasaan suka tersebut proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan lancar, karena anak didik menyadari bahwa yang dipelajari dari gurunya terdiri dari bahan-bahan ilmu pengetahuan yang akan memberikan makna bagi hidupnya lebih lanjut.
Jadi, guru lebih dulu menyadarkan anak didik bahwa bahan pelajaran itu akan memberi nilai tambah, baik mental atau profesional kepada mereka dalam berbagai situasi dan kondisi kehidupannya, misalnya mempelajari keterampilan bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan dapat dipakai untuk mencari rezeki yang halal. Juga sikap mental yang positif terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang tertentu dapat memperlancar perkembangan kemampuannya lebih lanjut dalam kehidupannya sebagai orang dewasa yang berpendidikan sekolah, seperti sikap mental akademis yang cenderung ke arah pengembangan ilmu dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat (yang tepat guna) yang daripadanya mereka dapat memperoleh rezeki yang halal dari Tuhan.
Prinsip relevansi, dalam arti memberi bekal anak didik dengan ilmu pengetahuan yang mengacu pada perkembangan masa depan kehidupannya sangatlah penting. Hal ini penting karena, seperti ditulis oleh 'Athiyah al-Abrasyi, anak didik itu lahir pada era yang berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
عَلِّمُوْا اَوْلاَدَكُمْ فَإِنَّهُمْ مَخْلُوْقُوْنَ ِلزَمَنٍ غَيْرَ زَمَانِكُمْ
"Didiklah anak kalian dengan pendidikan yang berbeda dengan yang diajarkan padamu, karena mereka diciptakan unluk zaman yang berbeda dengan zaman kalian."
Dalam mengimplementasikan prinsip relevansi ini, maka pada pertemuan pertama setiap tahun ajaran baru, atau awal semester, pendidik (guru) hendaknya mendiskusikan dengan para siswa mengenai berharganya menggunakan waktu untuk mempelajari subyek (materi pelajaran). Biarkan mereka melakukan brainstorming (curah gagasan) tentang keuntungan mempelajari subyek itu dan akibat jika tidak mengetahuinya. Guru hendaknya menjelaskan pentingnya subyek itu bagi mereka. Matematika menjadi hidup dan penting ketika para siswa menyaksikannya dipakai dan diterapkan dalam kehidupan nyata, katakanlah dalam bidang asuransi atau rekayasa. Para siswa yang menganggap belajar bahasa asing sebagai suatu pekerjaan yang menarik ketika mereka menggunakannya dalam situasi nyata. Para siswa harus melihat relevansi apa yang mereka pelajari dengan komitmen pada kehidupannya. Bangkitnya minat mendasari dan mendahului pembelajaran.
Doronglah para siswa untuk menentukan tujuan belajar mereka sendiri pada setiap sesi atau topik bahasan, bahkan bila memungkinkan, merencanakan aktivitas dan strategi pembelajaran yang diinginkan. Jika mereka tahu ke mana mereka akan pergi, langkah pasti akan terfokus. Salah satu prinsip terpenting dalam manajemen adalah kebanyakan orang mampu melampaui target pribadi yang mereka tentukan sendiri. Prinsip lain, kita perlu mengetahui ke mana kita akan pergi, sebelum kita bisa mencapai tempat itu.
Sebagai implementasinya, di ruang kelas, bisa dilakukan pendekatan "AMBAK"— "Apa Manfaat¬nya BAgiKu?". Ini tidak diarahkan dengan cara pandang egoistis, tetapi untuk membuat siswa, bisa secara berpasang-pasangan atau trio, saling menceritakan harapan-harapan mereka dari sesi tersebut. Cara memperkenalkan hal ini sangatlah penting, khususnya di sekolah. Kebanyakan murid mungkin sangat kesal dengan gaya penjelasan tradisional "Hari ini kalian akan belajar ini". Sebagai gantinya, sedari awal guru yang baik akan meminta para siswa untuk menentukan tujuan mereka masing-masing dan hasil yang mereka inginkan dari sesi tersebut.
Menunjukkan bahwa materi pelajaran itu relevan dan penting bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini:
a. Visualisasikan tujuan pembelajaran
Visualisasi merupakan teknik pembelajaran yang sangat berguna. Seorang guru yang tidak efektif mungkin akan mengatakan, "Jangan lupa belajar atau kalian akan dapat nilai jelek dalam ujian mendatang", sebuah pesan negatif. Eric Jensen menyarankan dua cara yang lebih baik. Pertama, mendorong para siswa untuk memvisualisasikan secara tepat bagaimana mereka akan memanfaatkan pengetahuan baru mereka di masa depan. Kedua, menanamkan pikiran positif yang mendorong mereka untuk membaca buku pelajarannya guna mencari jawaban tertentu yang mungkin dapat dipergunakan di masa depan.
Menanamkan informasi pada memori menetap mensyaratkan pada siswa untuk memahami implikasi dan signifikansi makna seutuhnya, dengan secara saksama mengeksplorasi bahan subjek yang bersang-kutan. Ada perbedaan besar antara "mengetahui" dan "memahami benar-benar" sesuatu. Mengubah fakta ke dalam makna pribadinya adalah unsur pokok dalam proses belajar. Selama ini, seringkali siswa hanya didorong untuk mengingat informasi tanpa ada usaha nyata untuk memahami makna sebenarnya dari informasi itu.
Fakta tidak banyak membutuhkan interpretasi. Itulah sebabnya mengapa pilihan-berganda adalah metode yang lemah untuk menguji hasil belajar. Model tes semacam itu hanya untuk menguji sejauh mana fakta sudah berhasil diperoleh. Tetapi, model itu tidak menguji apakah siswa berhasil menginternalisasikan maknanya bagi dirinya sendiri dari fakta yang diketahui. Ini mengharuskan siswa merespons dan mengeksplorasi berbagai referensi dan informasi, mengerti serta memahaminya.
Keterampilan seperti itulah yang akan dihargai tinggi dalam masyarakat. Perbedaan antara penemuan fakta dan "penciptaan makna" adalah yang membedakan antara pengetahuan yang dangkal dan pengetahuan yang mendalam. Mengubah fakta menjadi makna adalah gelanggang di mana kedelapan kecerdasan siswa berperan aktif. Setiap jenis kecerdasan adalah sumber daya yang bisa diterapkan ketika meng-eksplorasi dan menginterpretasikan fakta-fakta dari subjek pelajaran.
b. Meyakinkan peserta didik atas pentingnya materi
Rasulullah seringkali memulai pembicaraan dengan bersumpah "Demi Allah". Ini sebagai peringatan beliau kepada para sahabat akan pentingnya masalah yang hendak beliau ajarkan, dan untuk memperkuat suatu hukum. Beberapa hadits tentang hal tersebut, antara lain:
1) Menyebarkan salam
Muslim memiwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai sesama. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kalian kerjakan, kalian akan saling mencintai? yaitu sebarkanlah salam di antara kalian."
2) Mencintai saudara sesama muslim
Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: "Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, seseorang tidak akan beriman sehingga dia mencintai tetangganya, (atau dalam riwayat yang lain beliau bersabda: 'sehingga ia mencintai saudaranya') sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
3) Bersikap baik dengan tetangga
Bukhari meriwayatkan dari Abu Syuraih al-Khuza'iy r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: "Demi Allah, la tidak beriman. Demi Allah, ia tidak beriman. Demi Allah, ia tidak beriman." Para sahabat bertanya: "Siapakah ia yang dimaksud, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang yang membuat tetangganya tidak tenteram karena ulah (kejahatan)nya."
Pada beberapa hadits di atas, sumpah yang diucapkan oleh Rasulullah saw. –sebagai orang yang jelas-jelas dapat dipercaya dan tidak diragukan lagi kejujurannya– bertujuan untuk memberi tekanan kepada para sahabatnya akan pentingnya salam –sebagai syiar Islam– guna mempererat hubungan antar sesama dan saling mencintai sesama manusia; di samping sebagai peringatan atas kewajiban seseorang untuk mencintai tetangga dan saudaranya, serta larangan menyakiti dan menyusahkan mereka.
c. Mengulang penjelasan untuk memperkuat materi yang disampaikan
Rasulullah seringkali mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali. Hal itu beliau lakukan untuk memperkuat materi yang disampaikan, serta untuk mengingat-kan tentang pentingnya kandungan materi yang akan disampaikan tersebut, sehingga mereka dapat lebih memahami dan menyempurnakannya.
1) Anas r.a. berkata: "Sungguh, apabila Rasulullah mengatakan suatu kata, maka beliau (seringkali) mengulanginya sampai tiga kali hingga perkataannya itu dapat dipahami oleh para sahabat."
2) Abdullah bin 'Amr r.a. berkata: "Rasulullah saw. pernah tertinggal dalam suatu perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau menyusul kami (dan sungguh saat itu kami sudah hampir melaksanakan shalat Ashar dan kami sedang berwudhu). Ketika kami tengah membasuh kaki, beliau mengatakan sesuatu dengan suara yang sangat keras sebanyak 2-3 kali: "Kecelakaanlah (neraka) bagi tumit-tumit."
5. Melibatkan emosi positif dalam pembelajaran
Prinsip ini sesuai dengan teori otak triune yang banyak dibahas oleh teori-teori belajar era Quantum. Teori ini menyatakan, bahwa informasi yang memasuki otak akan menuju otak tengah. Otak tengah berfungsi sebagai semacam pusat pengarah. Jika memutuskan informasi penting, ia mengalihkan informasi tersebut ke "otak berpikir". Fungsi otak tengah ini tak hanya sebuah "pusat pengarah", tetapi juga bagian otak yang mengendalikan emosi. Jadi, jika informasi baru disampaikan dalam cara yang menyenangkan, maka seseorang dapat belajar dan mengingat dengan baik. Jika hal yang dipelajari memasukkan unsur warna, ilustrasi, permainan, dan iringan lagu, emosi terlibat secara positif sehingga orang akan belajar lebih baik.
Namun, jika yang hadir adalah rasa takut atau emosi negatif, maka "otak tengah" meredam informasi yang datang. Ketika seseorang sedang stres, informasi mungkin tak akan pernah mencapai otak berpikirnya. Informasi itu malah tersaring. Itulah yang terjadi saat otak tiba-tiba terasa kosong, otak menurunkan taraf berpikir ke yang lebih primitif. Pada saat merasa terancam, neokorteks menerima lebih sedikit informasi, sehingga belajar menjadi tidak efektif. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk "merekatkan" pelajaran ke dalam ingatan. Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak dibajak secara emosional menjadi mode “bertempur atau kabur” dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup. Jadi, kunci belajar efektif adalah mencapai suasana hati yang tenang dan positif, sebelum mulai belajar.
Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk "merekatkan" pelajaran ke dalam ingatan. Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak mengambil sikap “bertempur atau kabur” dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup. Ketersediaan hubungan dan kegiatan saraf benar-benar berkurang atau sangat mengecil dalam situasi ini, dan otak tidak dapat mengakses Higher Order Thinking Skills (HOTS), Keterampilan Berpikir Orde Tinggi. Fenomena ini, dikenal sebagai downshifting , merupakan reaksi psikologis yang dapat menghentikan proses belajar, karena saat itu kemampuan belajar mahasiswa benar-benar berkurang.
Untungnya, otak dapat juga melakukan hal sebaliknya. Dengan tekanan positif, dikenal sebagai eustress, otak dapat terlibat secara emosional, dan memungkinkan kegiatan saraf maksimal. Mihaly C., seorang psikolog dari Universitas Chicago menyebut hal itu dengan kondisi flow. Flow adalah keadaan di mana seseorang sangat terlibat dalam sebuah kegiatan, sehingga hal lain seakan tak berarti lagi.
Dia menggambarkan hubungan antara eustress dan flow sebagai berikut:
"Orang agaknya dapat berkonsentrasi paling baik saat mereka sedikit lebih dituntut daripada biasanya, dan mereka dapat memberikan lebih dari biasanya. Jika tuntutan terlalu sedikit, orang akan menjadi bosan. jika tuntutan terlalu besar untuk diatasi, mereka akan menjadi cemas. Flow terjadi di daerah genting antara kebosanan dan kecemasan."
Dalam khasanah pendidikan Islam, konsep pembelajaran yang melibatkan emosi (perasaan) anak didik sesungguhnya sejalan dengan prinsip al-itsaarah al-wijdaaniyyah, yakni memberikan perangsang kepada perasaan. Membangkitkan rangsangan perasaan, adalah jalan yang terpendek untuk menanamkan suatu karakter kepada anak-anak dan pemuda. Perasaan itu terbagi menjadi tiga: Pertama, perasaan pendorong, yaitu rasa gembira, harapan, hasrat yang besar dan seumpamanya. Kedua, perasaan penahan, yaitu rasa takut (berbuat kejahatan), rasa sedih (berbuat kezaliman) dan seumpamanya. Ketiga, perasaan kekaguman, yaitu rasa hormat dan kagum, rasa cinta, rasa bakti dan pengabdian.
Memberikan perangsang terhadap perasaan-perasaan ini, bila dilakukan secara tepat sesuai dengan tempat dan waktunya, akan menimbulkan kesan yang mendalam kepada anak didik. Sebab itu, Tuhan menyebutkan dalam Surat Al-Fatah ayat 8, bahwa Muhammad saw. memiliki tiga sifat utama, yaitu: syaahidan, mubasysyiran, dan naziiran. Di samping memastikan agar siswa lebih banyak belajar dan terlibat, ikatan emosional juga sangat mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Ilmuwan saraf, Dr. Joseph LeDoux, mengemukakan bahwa amigdala, pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam penyimpanan memori.
Untuk menarik keterlibatan siswa dalam pembelajaran, guru hendaknya membangun hubungan, yaitu dengan menjalin rasa simpati dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju suasan yang lebih bergairah, membuka jalan masuk memahami dunia mereka, mengetahui minat, berbagi kesuksesan, dan berbicara dengan bahasa mereka. Membina hubungan bisa memudahkan guru melibatkan siswa dalam pembelajaran, pengelolaan kelas, dan meningkatkan kegembiraan.
Sikap mengedepankan “kemudahan” sangat relevan dengan kehadiran agama Islam bagi umat manusia. Dalam hubungannya dengan interaksi edukatif yang selalu bertumpu dan bermuara pada pencapaian tujuan: bertambah, berubah, dan berkembang secara terpadu ketiga unsur: kognitif, afektif dan psikornotorik. Ketiga unsur yang merupakan orientasi tujuan universal ini, harus dijiwai oleh spirit "kemudahan" dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat diserap peserta didik.
Pada beberapa kesempatan, Nabi saw. menjelaskan sesuatu secara global dengan tujuan untuk lebih mendorong orang-orang yang diajak bicara supaya bertanya, dan beliau juga menginginkan agar orang-orang yang diajak bicara tersebut ikut mengungkapkan pandangan-pandangannya. Setelah itu, barulah beliau menjelaskannya secara lebih rinci supaya penjelasan itu lebih kuat tertanam dalam jiwa mereka dan lebih memantapkan hafalan dan pemahaman mereka. Contohnya adalah sebagai berikut:
a. Menggugah emosi lewat ungkapan "mustarih" dan "mustarah minhu"
Muslim meriwayatkan dari Ma'bad bin Ka'ab bin Maiik, dari Abu Qatadah bin Rib'iy r.a.: bahwasanya Rasulullah telah menjumpai seorang jenazah, lalu beliau bersabda: "Mustarih (orang yang istirahat) dan mustarah minhu (orang yang diistirahatkan)." Mereka bertanya: "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan orang yang istirahat dan orang yang diistirahatkan?" Beliau menjawab: "(Yaitu) Seorang hamba mukmin yang istirahat dari keletihan dunia menuju rahmat Allah, dan hamba durhaka yang darinya (oleh karena kematiannya) maka istirahatlah hamba-hamba, negara-negara, pohon-pohon, dan binatang-binatang."
b. Menggugah perasaan lewat ungkapan "tidak beriman"
Bukhari meriwayatkan dari Abu Syuraih al-Khuza'iy r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Demi Allah, tidak akan beriman, demi Allah, tidak akan beriman, demi Allah, tidak akan beriman." Lalu ditanyakan kepada beliau: "Siapakah (mereka yang engkau maksud tidak beriman), ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "(Yaitu) Orang yang perilakunya menjadikan tetangganya tidak aman (nyaman)."
Di sini nampak jelas bahwa kehadiran seorang pendidik harus selalu menjadi penyegar jiwa dan semangat peserta didik. Dia hendaknya selalu menunjukkan dan memberikan resep-resep yang mudah dalam interaksi edukatif, sehingga anak didik bisa meningkat prestasi belajarnya. Terkait dengan ini, AI-Gazali menegaskan: "Pendidik hendaknya menggunakan strategi bertahap dalam meningkatkan kemampuan anak didiknya dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi dan membatasi materi yang disampaikannya sesuai dengan tingkat pemahaman dan kecerdasan anak. Pendidik hendaknya tidak mengajarkan apa yang belum bisa dicapai oleh kemampuan akal anak didiknya, supaya akalnya tidak mengalami keterkejutan (shock).
6. Melibatkan semua indera dan pikiran
Dalam belajar, siswa hendaknya memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam proses belajar. Pelatihan konvensional cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam waktu lama. Otak akan mengalami kelumpuhan dan belajar pun melambat atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar.
Belajar berdasar aktivitas, secara umum jauh lebih efektif daripada yang didasarkan presentasi, materi, dan media. Alasannya sederhana: cara belajar itu mengajak orang terlibat sepenuhnya. Telah terbukti berkali-kali bahwa biasanya orang belajar lebih banyak dari berbagai aktivitas dan pengalaman yang dipilih dengan tepat daripada jika mereka belajar dengan duduk di depan penceramah, buku panduan, televisi, ataupun komputer. Gerakan fisik meningkatkan proses mental. Bagian otak manusia yang terlibat dalam gerakan tubuh (korteks-motor) terletak tepat di sebelah bagian otak yang digunakan untuk berpikir dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk berfungsi secara maksimal. Sebaliknya, melibatkan tubuh dalam belajar cenderung membangkit-kan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya.
Dalam khasanah pendidikan Islam, kesadaran tentang hal ini juga sudah terlihat. Misalnya, Dr. Muhammad Abdul Qadir Ahmad, menyebutkan beberapa hal pokok yang harus diperhatikan seorang guru dalam pendidikan Islam. Pertama, adanya relevansi dengan kecenderungan dan watak anak didik, baik dari aspek inteligensinya, serta aspek sosial, ekonomi dan status sosial orang tuanya. Kedua, memelihara prinsip-prinsip umum, seperti: berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang mudah menuju yang sulit; berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang jelas dan terperinci menuju pada yang lebih umum; berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang konkret menuju yang abstrak; dan berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang indrawi (kebenaran ilmiah) menuju pada yang ma'quli (kebenaran filosofis). Ketiga, memperhatikan perbedaan antar-individu, baik dilihat dari kemampuan, kepribadian, etika, inteligensi, watak, dan produktivitasnya.
Ungkapan yang lebih tegas lagi tentang pentingnya pelibatan semua indera dan pikiran dalam proses pembelajaran dapat ditemukakan dalam Kitab al-Irsyad wa al-Ta'lim. Pada salah satu alineanya dinyatakan, "Sangat mengherankan orang-orang pada umumnya senang terhadap anak-anak yang tidak banyak "ulah" dan tidak suka bermain. Mereka menganggap anak-anak seperti ini adalah cerdas dan baik. Mereka tidak menyadari bahwa anak-anak yang pendiam itu sangat mungkin sedang mengalami sakit (kelainan) fisik atau kejiwaan yang pada akhirnya nanti bisa mengganggu kehidupannya, kalau tidak segera diatasi dengan latihan fisik dan olahraga sejak kecil".
Dalam kondisi normal, sebenarnya anak kecil adalah pembelajar yang hebat karena mereka menggunakan seluruh tubuh dan semua indra untuk belajar. Tidaklah bisa dibayangkan seorang anak kecil mempelajari sesuatu sambil duduk di ruang belajar untuk jangka waktu lama. Yang tidak kita sadari adalah bahwa hal yang sama berlaku pula bagi kebanyakan orang dewasa. Belajar akan selalu terhambat jika kita memisahkan tubuh dan pikiran, mengabaikan tubuh, dan menekankan kesadaran rasional saja sebagai pintu gerbang menuju pikiran. Memang, pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran.
Agar proses memahami materi dan membuat makna dalam pembelajaran ini berjalan dengan lancar, maka aktivitas dan proses pembelajaran hendaknya melibatkan semua jenis kecerdasan. Semua strategi yang telah dianjurkan di muka untuk setiap individu pembelajar juga akan berfungsi sama baiknya di kelas, khususnya jika guru memberi kelas kebebasan memilih strategi yang digunakan dalam kelompok. Selain itu, cobalah cara-cara berikut ini untuk mendorong kedalaman berpikir yang sebenarnya. Tujuannya adalah menciptakan suatu daur aktivitas dalam suatu periode waktu yang melibatkan sebanyak mungkin gaya belajar dan kecerdasan yang tepat dan yang mungkin.
a. Membuat (mencari) analogi
Analogi membantu siswa memahami gagasan baru dengan cara memban-dingkannya dengan konsep-konsep yang telah dia kenal baik. Sebagai contoh, seorang pengajar Quantum, Glen Capelli memiliki metafora yang bagus untuk tiga otak manusia. Otak primitif ibarat sebuah ruang mesin. Capelli menghisap dan menghembuskan nafasnya serta memukul-mukul secara berirama untuk menggambarkan pernafasan dan detak jantung. Sistem limbik ibarat perusahaan kimia, emosi-emosi yang berputar terus. Neokorteks digambarkan terdiri dari dua ruang: ruang yang sejuk, biru, dan lembut (otak kiri, logis); dan ruang seni kaleidoskopik yang menggambar-kan otak kanan yang lebih artistik dan intuitif.
Penggunaan analogi (amtsal atau metafora), bertujuan untuk memudahkan anak didik memahami suatu konsep. Dalam Al-Quran juga banyak digunakan metafora, misalnya firman Allah tentang perumpama-an orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah digambarkan sebagai laba-laba yang membuat rumahnya yang sangat lemah.
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ (العنكبوت: 41)
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba."
Dalam Surat lain, Allah menggambarkan bahwa perbuatan orang kafir bagaikan abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang mereka usahakan (di dunia), dan yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. Juga Surah An-Nur ayat 35, yang menggambarkan tentang sifat-sifat Allah dengan sinar lampu di dalam kaca yang kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara dan seterusnya, yang menunjukkan tentang sifat-sifat Allah yang amat terang cahayanya, sehingga segala sesuatu akan lenyap dalam cahaya Allah itu. Perumpamaan ini dimaksudkan untuk menafikan (menghilangkan) cahaya dari kepercayaan menyembah objek-objek pemujaan selain Allah.
Mencari atau membuat persamaan adalah salah satu cara pengajaran Rasulullah. Cara ini biasanya beliau gunakan untuk menjelaskan suatu hal (makna) yang bersifat abstrak, dengan mengibaratkannya pada hal-hal konkrit yang akrab dan biasa ditemui oleh para sahabat dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini dipandang cukup memudahkan dan mempercepat pemahaman bagi mereka, terutama dalam menumbuhkan minat mereka untuk mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak (maknawiyah). Para ulama balaghah telah menyatakan bahwa membuat persamaan (tasybih) memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengungkap makna-makna yang tersembunyi dan membuka pemahaman yang lebih detail.
Karena pentingnya tasybih ini, maka beberapa ulama telah menyusun kitab kumpulan hadits tersendiri yang di dalamnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan berbentuk tasybih. Di antara beberapa ulama tersebut adalah al-Haflz Abu al-Hasan al-'Askariy (wafat pada tahun 310 H), Abu Ahmad al-'Askariy, dan al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad al-Ramakhurmuziy. Selain itu, di dalam beberapa kitab Shahih, Sunan dan Musnad juga dapat ditemukan hadits-hadits semacam itu, yang di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Perumpamaan mukmin dan fasik
Abu Daud meriwayatkan dari Anas (bin Malik) r.a., dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Quran adalah laksana buah jeruk (utrujah) baunya harum dan rasanya lezat. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Quran adalah seperti buah kurma (tamrah), meski rasanya lezat namun tidak memiliki bau yang harum. Perumpamaan seorang ahli dosa yang membaca al-Quran adalah seperti raihanah meski baunya harum namun rasanya pahit. Perumpamaan seorang ahli dosa yang tidak membaca al-Quran adalah laksana handhalah, rasanya pahit dan aromanya tidak harum. Perumpamaan seorang teman duduk (teman bergaul) yang baik adalah laksana orang yang mengenakan parfum; meski engkau tidak memakainya namun engkau mendapatkan keharuman parfum tersebut. Sedangkan perumpamaan seorang teman yang jahat adalah laksana seorang pande (penempa) besi; meski engkau tidak terkena hitamnya, engkau akan terkena asapnya."
2) Perumpamaan sikap manusia dalam menghadapi petunjuk Allah
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ariy r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu pengeta-huan (di mana dengannya Allah mengutusku) adalah laksana hujan lebat yang mengguyur bumi. Sebagian bumi merupakan tanah subur yang dapat dengan mudah menyerap air hingga bisa menumbuhkan rerumputan (tanaman) yang ada di atasnya. Sebagian yang lain adalah tanah keras (lembah) yang hanya dapat me-nampung air (tidak dapat menyerapnya) namun Allah memberi manfaat dengannya (air tersebut) kepada manusia untuk mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Sebagian bumi yang lain adalah tanah gersang lagi datar serta tidak dapat menampung air, tidak pula menumbuhkan rerumputan. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan memanfaatkan apa yang dengannya Allah mengutusku sehingga ia termasuk orang yang berilmu dan mengajarkannya, serta perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepala karenanya (tidak berilmu), tidak pula mau menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus."
Pada beberapa perumpamaan dalam hadits di atas, terkandung suatu dorongan (anjuran) Rasulullah yang sangat kuat agar berbuat kebaikan. Selain itu, terdapat pula larangan keras berlaku kejahatan. Dengan metode tasybih semacam itu, dorongan dan larangan beliau tersebut akhirnya dapat dengan mudah dipahami oleh mereka yang mendengarkan penjelasannya. Dalam hadits di atas juga terdapat suatu petunjuk dan arahan beliau agar bergaul dengan orang-orang saleh (para ilmuwan) dan menjauhi orang-orang fasiq (ahli berbuat dosa), karena yang demikian itu akan memberi manfaat bagi seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
Metode analogi biasa juga digunakan Rasulullah ketika mengajarkan masalah-masalah hukum, berikut sebab-sebab penetapan-nya. Hal ini demi menjadikan hukum tersebut dapat dipahami dengan benar, jelas dan tepat dalam pemahaman orang yang mempelajarinya (para sahabat), serta untuk menghindari kesalahpahaman mereka tentang suatu hukum. Oleh karenanya, metode atau strategi pengajaran beliau semacam itu dirasakan sangat efektif bagi para sahabat dalam mempelajari hukum-hukum syariat beserta tujuan-tujuannya. Satu contoh hadits Nabi yang dapat disebutkan di sini adalah sebagai berikut.
3) Menunaikan nazar ibu
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya seorang wanita dari Juhainah pernah datang kepada Nabi saw. lalu ia bertanya: "Sesungguhnya ibuku pernah bernazar untuk melakukan ibadah haji, namun hingga meninggal dunia ia belum sempat melaksanakannya. Maka, apakah saya diperbolehkan melaksanakan nazarnya?" Beliau menjawab: "Ya, berhajilah atas namanya. Lalu bagaimanakah tindakanmu jika ibumu mempunyai hutang (yang belum terbayar hingga ia meninggal dunia), apakah kamu akan membayarkan hutangnya?" Dia menjawab: "Ya." Rasulullah pun kemudian bersabda: "(Oleh karena itu, demikian pula nazar) Maka bayarlah (hutang kepada) Allah (nazar itu), karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk dipenuhi."
b. Membantu siswa membuat kerangka pemikiran secara visual
Biasanya anak-anak jarang kekurangan ide, tetapi seringkali kekurangan struktur terorganisasi untuk mengungkapkan ide itu. Struktur tersebut akan bekerja dengan baik karena adanya fakta-fakta, kesimpulan-kesimpulan dan argumen-argumen yang disusun secara logis dan teratur. Semakin sering siswa menggunakan model visual, akan semakin mudah dia memahami dan mengingat informasi, karena siswa menggunakan kapasitas otak yang semakin besar dibanding kalau hanya mendengar saja.
Dalam penerapannya, siswa diminta membuat sebuah diagram alir untuk menggambarkan sebuah mekanisme atau prosedur tertentu. Bisa juga dengan membuat sebuah diagram atau grafik, untuk melihat bagaimana perkembangan sebuah obyek. Intinya, gunakan bentuk-bentuk visual untuk menggambarkan daur dan proses seperti cuaca, ritme hormonal, atau bahkan kegiatan berpikir.
Guru bisa mendorong seorang siswa untuk melakukan visualisasi, dan pada saat yang sama, belajar memahami lebih baik suatu topik dengan mengambil sebuah konsep sederhana dan menyuruhnya memaparkan gagasan tersebut, tanpa huruf atau angka. Anak didik mesti memikirkan maknanya untuk menemukan penggambaran visual yang tepat. Tekankan bahwa mereka bisa membuat suatu bagan cerita, suatu kerangka dokumenter dalam rentetan langkah-demi-langkah berupa gambar-gambar.
Metode pembelajaran yang menjelaskan sesuatu dengan cara menggambar juga biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Di antara beberapa hadits yang mengetengahkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad) dari Jabir dan Ibnu Mas'ud r.a., dan Abu 'Abdillah al-Marwaziy (al-Sunnah) dari Jabir dan Ibnu 'Abbas r.a., sebagai berikut.
1) Jabir pernah berkata: Ketika kami sedang duduk di dekat Nabi saw., beliau membuat garis di atas tanah persis di depan beliau duduk dengan menggunakan tangan beliau, kemudian bersabda: "Ini adalah jalan Allah 'Azza wa Jalla. Lalu beliau membuat dua garis di sebelah kanannya dan dua garis lagi di sebelah kirinya, dan bersabda: 'Ini semua adalah jalan-jalan syetan. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas garis yang berada di tengah sambil membacakan ayat: "Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain (karena) akan membuat kalian terpisah dan jalan-Nya (jaIan-Ku). Demikianlah Allah telah mewasiatkan kepada kalian dengannya supaya kalian bertaqwa! (al-An 'am ayat 153)."
2) Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a., dia berkata:
"Nabi saw. pernah membuat garis (gambar) persegi empat dan membuat suatu garis lagi di tengah-tengah yang keluar darinya (tidak terhubung); kemudian beliau membuat beberapa garis kecil (yang menghubungkan) ke arah garis yang berada di tengah-tengah dari kedua sisinya yang ada di tengah-tengah, laiu beliau bersabda: 'Ini adalah manusia dan ini adalah ajal yang selalu mengancamnya, dan garis yang di luar itu adalah cita-citanya, sedangkan garis-garis yang kecil ini laksana kejadian-kejadian. Maka, jika yang ini menyalahkan, maka yang itu akan menggigit; dan jika yang itu menyalahkan, maka ini yang akan menggigit. Adapun jika semua-nya menyalahkan, maka terjadilah pikun atasnya."
3) Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari Abdullan bin 'Abbas r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. pernah membuat 4 (empat) garis di atas tanah kemudian bersabda:
"Tahukah kalian, untuk apa aku membuat garis-garis seperti ini?" Mereka menjawab: "(Kiranya hanya) Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Maka Rasulullah s.a.w. menjelaskan: "Wanita-wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti 'Imran, dan 'Asiyah binti Muzahim (istri Fir'aun)."
Hadits-hadits di atas telah menunjukkan metode Rasulullah dalam memberikan pelajaran kepada para sahabatnya, yaitu metode menggambar di atas tanah (visual). Maksud penjelasan Rasulullah saw. dalam hadits-hadits tersebut adalah bahwa manusia tak dapat dipisahkan antara cita-citanya yang beragam dengan ajal yang setiap saat mengikutinya, atau dengan sebab-sebab lain termasuk sakit yang dapat melumpuhkan, ataupun kepikunan yang juga mematikan. Oleh karenanya, beliau mendorong para sahabat untuk tidak terlalu banyak berangan-angan, serta lebih menyiapkan diri guna menjemput datangnya ajal yang seringkali terjadi secara tiba-tiba. Sedangkan pada hadits ketiga, beliau menjelaskan tentang wanita-wanita utama yang menjadi calon penghuni surga.
c. Berpikir mendalam
Setiap mata pelajaran tentu memiliki berbagai persoalan (masalah) yang muncul di berbagai topik bahasannya. Jika sebuah topik bahasan mengandung suatu masalah, tantanglah para siswa bukan hanya sekadar memecahkan masalah tetapi juga selalu bertanya mengapa masalah tersebut muncul. Para siswa kemudian diajak menyelami lebih dalam masalah tersebut untuk melihat situasi dan persoalannya, bukan sebagai peristiwa-peristiwa yang terpisah, tetapi sebagai suatu sistem utuh. Tantangan adalah kunci keberhasilan akademik dan cara untuk menjaga minat seorang siswa. Pertanyaan yang menantang pikiran adalah pertanyaan yang tidak banyak terfokus pada fakta tetapi lebih kepada upaya untuk mendorong siswa menganalisis, mengevaluasi, menilai, dan memecahkan masalah.
Selain itu, gunakan contoh yang menarik bagi para remaja. Krim jerawat mungkin bisa menghilangkan noda-noda pada kulit, tetapi akan le¬bih produktif jika tahu mengapa noda itu muncul. Apakah karena diet yang buruk? Jika benar, apa penyebabnya? Atau mungkin pula disebabkan oleh pola makan yang jelek? Mengapa pola makan yang jelek bisa menimbulkan jerawat? Di sini, para siswa diajak untuk melihat akar permasalahannya. Mereka didorong untuk berpikir, memahami, mencari hubungan, dan membuat kesimpulan. Itulah keterampilan yang disebut "Cara Berpikir Sistemik", sebuah cara berpikir yang melihat sesuatu berdasarkan unsur-unsurnya yang saling terkait, saling mendukung dan saling mempengaruhi.
Bagaimana Rasulullah menggunakan cara ini? Dalam suatu riwayat disebutkan beliau menggunakan metode ini untuk menyadarkan (memberi pemahaman) seseorang tentang suatu kebenaran yang bisa diungkap melalui cara berpikir logis. Salah satu contohnya adalah upaya beliau dalam meredam dan mengobati kecanduan berzina pada seorang pemuda.
Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari Abi Umamah al-Bahili, sebagai berikut:
"Sesungguhnya seorang pemuda telah datang kepada Rasulullah lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berbuat zina. Maka (mendengar perkataan pemuda tersebut) sekelompok orang mencelanya dan berkata: 'Hentikan dan cegahlah (usirlah) dia. Rasulullah kemudian berkata (kepada pemuda itu): 'Mendekatlah kepadaku. Pemuda itu pun lalu mendekat dan duduk di hadapan Rasulullah. Beliau bertanya: 'Apakah engkau senang jika zina itu terjadi pada ibumu? Pemuda itu menjawab: Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusan-nya. Beliau kemudian menjelaskan: 'Siapapun tidak akan rela zina terjadi pada ibu mereka. Beliau bertanya lagi: "Apakah engkau rela apabila zina itu terjadi pada anak perempuanmu? Pemuda itu menjawab: Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusannya. Beliau kemudian berkata: 'Manusia manapun juga tidak akan rela jika zina terjadi pada anak perempuan mereka. Beliau lalu bertanya lagi: 'Apakah engkau rela zina terjadi pada saudara (adik atau kakak) perempuanmu?' Dia menjawab: Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku lebih baik menjadi tebusannya. Beliau kemudian menjelaskan: 'Siapa pun juga tidak akan rela apabila zina terjadi pada saudara perempuan mereka. Beliau bertanya lagi: 'Apakah engkau rela jika zina terjadi pada bibimu?* Pemuda itu menjawab: Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusannya. Beliau pun lalu menjelaskan: 'Manusia manapun tidak akan rela apabila zina terjadi pada bibi mereka. Setelah itu lalu beliau meletakkan tangan beliau di atas pundak pemuda tersebut seraya berdoa: "Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya, dan jagalah kemaluan (farji) nya. Sejak itu, pemuda tersebut tidak berpaling (tergoda) kepada sesuatu pun (wanita manapun untuk berzina)."
Hadits di atas menjelaskan bagaimana Rasulullah menyikapi seorang pemuda yang telah mengidap ketergantungan terhadap perbuatan zina. Tanpa menyatakan dalil-dalil Al-Quran yang menjelaskan haramnya perbuatan zina, beliau dengan sangat bijaksana mengajak pemuda tersebut berdialog, dan merangsang logikanya akan keburukan perbuatan zina. Kiranya, cara-cara beliau semacam itu dapat dirasakan sangat efektif dalam upaya menghentikan kebiasaan buruk (perbuatan zina) yang biasa dilakukan oleh pemuda tersebut, sesuai dengan pengetahuan dan daya nalarnya.
Oleh karena itu, setiap pengajar (guru) dianjurkan untuk menggunakan metode ini, yakni menggunakan pijakan akal dalam menemukan pemecahan suatu masalah. Hal ini sebagaimana telah ditunjukkan oleh Rasulullah dalam memberi kesadaran kepada pemuda yang mengalami ketergantungan berbuat zina. Beliau menempuhnya hanya dengan mengajak pemuda tersebut berpikir logis tanpa harus membacakan dalil-dalil atau ayat Al-Quran.
d. Pamerkan apa yang diketahui
Untuk mengetahui apakah siswa telah mengerti dan memahami materi yang dipelajari, guru bisa meminta siswa tersebut untuk menyiapkan suatu presentasi dan melakukan sharing di hadapan teman-teman kelasnya. Memang banyak orang mengira bahwa dia telah memahami sesuatu, tetapi ternyata bahwa dia tidak bisa menjelaskannya kepada orang lain. Jika siswa bisa mengajarkannya kepada orang lain, berarti dia betul-betul telah paham. Dalam kondisi ini, sesungguhnya siswa tidak hanya mengetahui, tetapi juga memilikinya. Silberman menyebut kondisi ini dengan ungkapan, "What I teach to another, I master".
Para siswa jelas perlu menilai apa yang telah mereka pelajari dan bagaimana strategi belajar mereka berjalan dengan baik. Ketika tes dilakukan, bukan sebagai menang-kalah tetapi sebagai umpan-balik, maka para siswa mulai memandangnya sebagai petunjuk yang membantu, demi kebaikan dan keberhasilan mereka sendiri, bukan alat untuk menjatuhkan mereka. Manfaat evaluasi makin terlihat bila guru benar-benar hanya menilai seberapa baik siswa melakukan tugasnya.
Evaluasi dilakukan guna memberikan umpan-balik (feedback) kepada siswa. Hal ini bisa berdampak positif, ketika para siswa kemudian melihat tes-tes itu bermanfaat bagi mereka dalam mengetahui dan mengukur kemampuan belajar. Selain itu, tes (evaluasi) bisa dijadikan sebagai ajang "unjuk kebolehan" atas kerja keras mereka dalam belajar selama ini. Ujian semester atau ujian apapun selalu ditunggu dan menjadi saat yang "menyenangkan", karena di situlah mereka bisa "memamer-kan" prestasi mereka dalam belajar.
Dalam khasanah pendidikan Islam, ada beberapa riwayat penggunaan metode ini. Tujuannya adalah untuk memberi kesan positif dan menarik perhatian peserta didik, sekaligus memberikan dorongan agar meraka dapat menjelaskan apa yang telah mereka ketahui. Misalnya:
1) Hikmah shalat lima waktu
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. sebagai berikut: Bahwasanya Rasulullah bersabda: "Bagaimanakah menurut pendapat (kesimpulan) kalian (para sahabat) jika seseorang mandi sebanyak 5 kali dalam satu hari? Akankah masih tersisa suatu kotoran di tubuh orang tersebut?" Mereka menjawab: "Tentu tidak akan ada kotoran yang tersisa di tubuh orang tersebut." Beliau kemudian menjelaskan: "Demikianlah perumpamaan (orang yang melakukan) shalat lima waktu. Dengan shalat itu Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan yang ada dalam diri seseorang."
2) Makna Muslim dan Mukmin
Dalam kitab Musnad, Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin 'Ash r.a., dia berkata: "Saya pernah mendengar Rasulullah mengajukan pertanyaan (kepada para sahabat), 'Tahukah kalian, siapakah yang dimaksud dengan orang muslim?' Mereka menjawab, 'Kiranya Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui (akan hal itu)'. Beliau kemudian bersabda, 'Orang muslim adalah orang yang menjadikan orang muslim lain selamat dari lisan (ucapan) dan tangan (perbuatan)nya'. Rasulullah bertanya lagi, 'Tahukah kalian siapakah yang disebut orang mukmin?' Mereka menjawab, 'Kiranya Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui (akan hal itu).' Beliau kemudian bersabda, 'Orang mukmin adalah orang menjadikan orang mukmin lain merasa aman dari kejahatannya, baik jiwa maupun harta mereka. Adapun yang disebut dengan muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang berhijrah (meninggalkan) dari kejahatan serta menjauhinya."
3) Orang yang pailit (bangkrut)
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah pernah mengajukan suatu pertanyaan (kepada para sahabat): "Apakah kalian tahu siapakah orang yang dikatakan pailit (bangkrut) itu?" Mereka menjawab: "Di antara kami, yang dikatakan sebagai orang yang pailit (bangkrut) adalah orang yang tidak mempunyai uang atau kekayaan." Beliau kemudian bersabda: "Sesungguhnya orang yang pailit (bangkrut) dari umatku adalah mereka yang pada hari kiamat memiliki banyak pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun di sisi lain ia suka mencaci dan memfitnah orang lain, memakan harta (yang tldak halal), serta menumpahkan darah dan berbuat kekerasan kepada orang lain. Maka, amal kebaikan orang tersebut akan dilimpahkan (oleh Allah) kepada orang-orang yang pernah la sakiti. Kemudian, jika amal kebaikan orang tersebut telah habis dibagikan kepada mereka, diambillah kesalahan-kesalahan mereka lalu ditimpakan kepada orang tersebut hingga ia pun akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka."
7. Menyesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa
Proses pembelajaran bukan hanya mengalihkan pengetahuan kepada para siswa, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana mereka bisa membuat makna bagi diri mereka sendiri dalam memahami materi. Agar hal ini bisa terwujud, maka dalam proses pembelajaran, seorang pendidik (guru) hendaknya memilih materi dan metode yang digunakan sesuai dengan tingkat kemampuan anak didik. Prinsip pembelajaran ini bahkan diperintahkan Allah kepada para Nabi yang mengemban tugas mendidik manusia (umatnya), seperti sabda Rasulullah saw. berikut:
نَحْنُ مَعَاشِرَ اْلأَنْبِيَآءِ اُمِرْنَا اَنْ نُـنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلَـهُمْ وَنُكَـلِّمُهُمْ عَلىَ قَدْرِ عُقُوْلِـهِمْ (رواه أبوبكربن الشخير)
"Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya."
Dalam aktivitas dan proses pengajaran yang dilakukan, Rasulullah sangat memperhatikan kondisi kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Beliau selalu memberikan pengajaran kepada mereka sesuai dengan kadar pemahaman dan kedudukan mereka, serta menjaga perasaan (menghargai) para pelajar pemula. Beliau tidak mengajarkan kepada para pelajar pemula sesuatu hal yang beliau ajarkan kepada pelajar senior (advanced). Beliau juga pandai menjawab setiap pertanyaan sesuai dengan yang dikehendaki dan sesuai dengan keadaan orang yang bertanya. Dalam beberapa riwayat hadits disebutkan:
a. Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. sebagai berikut:
"Bahwasanya Nabi saw pernah memanggil Mu'adz bin Jabal yang saat itu sedang menaiki kendaraannya, 'Wahai Mu'adz'. Mu'adz pun menjawab, 'Ada apa wahai Rasulullah, Anda memanggil saya'. Nabi memanggilnya lagi, 'Wahai Mu'adz'. la pun menjawab, 'Ada apa wahai Rasulullah Anda memanggil saya'. Nabi mengulangi panggilannya lagi, 'Wahai Mu'adz'. Dia pun menjawab: 'Ada apa wahai Rasulullah Anda memanggil saya.' Rasulullah kemudian bersabda: 'Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya kecuali Allah akan mengharamkan neraka atas hamba tersebut.' Mu'adz lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah hal ini dapat aku beritahukan kepada manusia supaya mereka merasa senang?' Nabi menjawab: 'Jangan, karena mereka akan enggan beramal.' Akan tetapi, Mu'adz bin Jabal kemudian memberitahukan hal tersebut ketika ajalnya telah dekat. Hal itu ia lakukan karena takut akan mendapatkan dosa (lantaran menyimpan ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri)."
b. Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari 'Abdullah bin Amr bin al-'Ash, ia berkata:
"Ketika kami sedang berkumpul bersama Nabi, seorang pemuda datang dan menanyakan sesuatu kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, bolehkah saya mencium (isteri saya) ketika saya sedang berpuasa?' Nabi menjawab: Tidak boleh. Setelah itu datang seorang laki-laki tua dan bertanya tentang hal yang sama: 'Bolehkah saya mencium (isteri saya) ketika saya sedang berpuasa?' Nabi menjawab: 'Ya, boleh'. Maka kami pun saling berpandangan (merasa heran), Rasulullah pun lalu menjelaskan: 'Saya tahu kenapa kalian saling berpandangan. (Ketahuilah) Sesungguhnya orang tua itu lebih dapat mengekang hawa nafsunya (hasrat seksual)."
c. Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash, dia berkata:
"Seorang laki-laki pernah menghadap kepada Nabi dan berkata, 'Aku berjanji kepadamu untuk ikut berhijrah dan berjihad demi mencari balasan (pahala) dari Allah. Rasulullah bertanya, 'Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?' Laki-laki itu menjawab, "Ya, bahkan kedua-duanya.' Nabi bertanya lagi, 'Apakah engkau ingin mencari ridla Allah?' la pun menjawab, 'Ya'. Nabi lalu bersabda: 'Pulanglah kepada kedua orang tuamu dan perbaikilah pergaulanmu (berbaktilah) dengan keduanya."
Jadi, meskipun Rasulullah sangat mendorong umatnya berjihad dan melakukan hijrah, namun beliau tidak mengabaikan adanya berbagai perbedaan kondisi dari setiap orang yang meminta turut berjihad. Sebab, tidak semua dari mereka adalah orang-orang yang dianggap baik untuk turut berjihad. Maka, dalam kasus laki-laki yang masih memiliki orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah menyatakan bahwa pada hakekatnya berbakti kepada kedua orang tua juga merupakan suatu jihad, bahkan dianggap lebih utama dan pentlng. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan jawaban yang disampaikan beliau terhadap masing-masing orang yang bertanya disesuaikan dengan perbedaan kondisi, keadaan, serta kemampuan mereka.
d. Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata:
"Aku pernah berkata kepada Rasulullah, berilah aku nasihat?" Beliau pun menjawab, 'BertakwaIah kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutilah suatu perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena ia akan menghapus (perbuatan buruk tersebut), serta bergaullah dengan manusia secara baik."
Selain beberapa hadits di atas masih banyak lagi hadits-hadits lain yang mengetengahkan persoalan-persoalan sejenis dan merupakan variasi jawaban yang dikemukakan Rasulullah dalam menjelaskan amal perbuatan yang paling utama. Macam-macam bentuk jawaban yang beliau kemukakan itu tidak lain karena kecerdasan beliau dalam memahami latar belakang dan kondisi dari masing-masing orang yang bertanya (peserta didik), serta disesuaikan dengan konteks dan jawaban yang dikehendaki (ingin diketahui) oleh mereka. Misalnya tentang persoalan jihad. Jihad (berperang di jalan Allah) sesungguhnya merupakan amal perbuatan yang paling utama pada masa permulaan Islam, sebab jihad adalah sarana pokok (paling mendasar) dalam penegakan amalan-amalan (syariat) Islam lainnya. Selain itu, fleksibilitas jawaban Rasulullah sangat ditentukan oleh faktor perbedaan konteks dan kebutuhan. Contohnya adalah, Rasulullah di satu saat mengemukakan bahwa shalat adalah lebih utama daripada sadakah. Namun, pada saat-saat tertentu yang lain, beliau menjelaskan sebaliknya, yakni sadakah lebih utama daripada shalat.
8. Memberikan pengalaman sukses
Pada umumnya seorang guru pasti akan merasa senang ketika para siswanya dengan yakin mengacungkan tangan mereka untuk menjawab pertanyaan dan berpartisipasi secara aktif, dan bukannya menahan diri dan bersikap ragu-ragu. Sebenarnya, setiap guru bisa merencanakan pembelajaran agar siswa aktif dan berpartisipasi dalam aktivitas kelas. Namun jangan lupa, rancangan pembelajaran itu bisa mengalami hambatan dan bahkan mengalami kegagalan. Lalu bagaimana caranya agar rancangan pembelajaran bisa meraih sukses? Ada dua faktor utama yang menentukan kesuksesan belajar siswa setiap saat, kesulitan pelajaran dan derajat risiko pribadi.
Perlu diketahui bahwa kesulitan pelajaran atau derajat risiko pribadi itu sendiri cukup untuk membuat siswa menahan diri atau mengalami downshift, yang menyebabkan belajar menjadi mandek. Seperti diketahui, bagi sebagian siswa, ditunjuk untuk berbicara atau menjawab pertanyaan merupakan suatu risiko pribadi yang besar dan pengalaman yang sulit. Jika risiko pribadi yang besar digabungkan dengan kewajiban menguasai pela-jaran yang sulit, maka bisa dipastikan siswa tidak akan punya kesempatan untuk meraih sukses.
Untuk membantu siswa meraih sukses dalam setiap pembelajaran, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh guru. Pertama, pada saat dia menyampaikan materi pelajaran, sajikan dengan melibatkan multisensori, yakni menggunakan unsur visual, auditorial, dan kinestetik. Bila materi pelajaran cukup banyak, bagi bahan itu menjadi segmen-segmen (misalnya tiga atau empat segmen). Kemudian, sering-seringlah melakukan pengulangan sepanjang waktu belajar, gunakan pengulangan untuk memastikan disimpannya informasi di dalam pikiran siswa. Lalu, tambahkan kemajuan sederhana pada proses pembelajaran. Pada saat guru pertama kali mengajarkan informasi ini, pastikan untuk membuatnya multimodalitas. Potong menjadi segmen dan ulang berkali-kali. Ajarkan pertama kali pada kelompok besar (seluruh kelas).
Kedua, buat kelompok-kelompok kecil (kelompok kerja sama, tim, atau pasangan) untuk pemantapan belajar. Ketiga, selesaikan secara perseorangan (menjawab pertanyaan di depan kelas, pekerjaan rumah, tes, atau kuis). Dengan demikian, siswa mendapatkan informasi dalam bentuk yang paling mudah, sambil mengambil risiko paling kecil dalam kelompok besar. Kemudian, ketika guru memindahkan mereka ke kelompok kecil, risiko pribadi, sekalipun menjadi lebih besar karena mereka diperhitungkan satu-satu, tidak terlalu menekan karena mereka mulai mengenal materi pelajaran. Akhirnya, pada saat mereka tampil sendiri-sendiri, mereka masih mengambil risiko besar, tetapi mereka dapat mengatasinya karena merasa percaya diri, dan sudah menguasai materi.
Pada akhir kegiatan, guru dapat melangsungkan upacara pemberian hadiah. Amati bagaimana para siswa sekarang menggunakan imajinasi, logika, keterampilan linguistik dan harus berpikir tentang bagaimana orang lain melihat berbagai hal. Ini adalah satu bentuk atau rancangan pembelajaran yang menggunakan multi-sensori dan variasi teknik pembelajaran, sehingga bisa mendaya gunakan potensi multi-kecerdasan yang dimiliki siswa.
Pemberian reward (hadiah) banyak dicontohkan dalam Al-Quran, misalnya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلـة: 11)
"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Contoh lain dari pemberian reward bisa dilihat pada firman Allah berikut:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد: 28)
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
Rasulullah sering pula memuji sahabat beliau, misalnya ketika para sahabat mampu menjawab pertanyaan beliau atau melakukan sesuatu berdasarkan nalar dan ijtihadnya yang tidak menyimpang dari syariat. Hal ini beliau lakukan untuk menelusuri sejauh mana kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mereka. Apabila mereka benar dalam menjawab (menguraikan penjelasan), beliau tidak segan-segan memuji dan menyanjung mereka. Biasanya, pengakuan Nabi saw. akan kapasitas keilmuan seorang sahabat adalah dengan menepuk dadanya usai ia memberikan penjelasan. Hal itu sebagai pemberitahuan bahwa ia berhak mendapatkan cinta beliau dan beliau mengakui akan penjelasannya yang cukup baik. Hadits-hadits berikut mi memuat metode yang dimaksud.
a. Pujian terhadap Ubay bin Ka'ab (Abu al-Mundzir)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab r.a. (Abu al-Mundzir), dia berkata: "Rasulullah saw. pernah bertanya kepadaku: "Wahai Abu al-Mundzir, ayat manakah dari Kitab Allah (al-Quran) yang menurutmu lebih agung?" Saya menjawab: "Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau mengulangi pertanyaannya lagi: "Wahai Abu al-Mundzir, ayat manakah dari Kitab Allah (al-Qur'an) yang menurutmu lebih agung?" Saya kemudian menjawab: "Allahu la ilaaha illa huwa al-hayyu al-qayyum' (Allah, tiada Tuhan selain Dia, (Tuhan) yang Maha Hidup dan berdiri sendiri). Beliau lalu menepuk dadaku dan mengatakan: "Semoga ilmu pengetahuan menyenangkanmu."
b. Pujian terhadap Mu'adz bin Jabal
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal r.a., dia berkata: "Ketika Rasulullah saw mengutusku ke Yaman, beliau bertanya kepadaku: 'Bagaimana engkau akan memutuskan (suatu persoalan) jika seseorang meminta keputusan darimu?' Aku menjawab: 'Aku akan memutuskan dengan landasan Kitab Allah. Beliau bertanya lagi: 'Jika ternyata tidak kamu dapati di dalam Kitab Allah?' Aku menjawab: 'Aku akan memutuskannya dengan dasar sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi: 'Jika ternyata tidak juga kamu dapati di dalam sunnah?' Aku menjawab: 'Aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri dan aku tidak akan sembrono. Dia menceritakan, Rasulullah saw. kemudian menepuk dadaku dengan tangannya dan berkata: 'Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada seorang utusan Rasulullah. yang telah membuat hati rasul-Nya ridha (atasnya)."
9. Merayakan hasil
Mengadakan perayaan bagi siswa akan mendorong mereka memperkuat rasa tanggung jawab dan mengawali proses belajar mereka sendiri. Perayaan akan mengajarkan kepada mereka mengenai motivasi hakiki tanpa “insentif”. Siswa akan menanti kegiatan belajar, sehingga pendidikan mereka lebih dari sekadar mencapai nilai tertentu.
Dalam Al-Quran juga diberikan beberapa contoh tentang merayakan hasil ini. Misalnya pada surah Fushilat ayat 30, Allah mempersilahkan kepada orang-orang yang konsisten dengan keimanannya kepada Allah untuk bergembira dengan kenikmatan surga yang telah disiapkan untuknya. Mereka juga akan menerima perlindungan malaikat yang diturunkan Allah untuk menjaganya, sehingga mereka tidak akan merasakan ketakutan dan kesedihan dalam hidup di dunia.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُـوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَـقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: 30)
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".

Satu ilustrasi sebagai contoh adalah pertandingan sepak bola. Tim yang bertanding menggiring bola ke sana-kemari. Ketika terjadi gol, para pemain merayakannya dengan berbagai macam cara: menari, berteriak-teriak, saling menepuk punggung, saling peluk. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa setiap langkah itu amat berarti. Inilah salah satu prinsip belajar Quantum: “jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan!” Para pemain tersebut tahu bahwa setiap kesuksesan, setiap langkah menuju kemenangan akan memacu mereka jika langkah itu ditambatkan pada perayaan. Jadi, mereka mengakhiri setiap kesuksesan dengan perayaan, menegaskan atau menambatkan keadaan prestasi sukses.
Pujian yang didapat akan mendorong mereka tetap dalam keadaan prima. Kemudian, jika di lain waktu seorang pemain menghadapi tantangan permainan yang berat, asosiasi positif perayaan akan mendorongnya maju. Biasanya pada saat mencapai sesuatu, orang hanya melanjutkan ke kegiatan selanjutnya, tanpa menciptakan daya pendorong istimewa untuk mengulang keberhasilan itu. Sebagai guru, hendaknya selalu menanamkan bibit kesuksesan, dan senantiasa menghubungkan belajar dengan perayaan, karena perayaan membangun keinginan untuk sukses.
Merayakan kesuksesan hasil belajar anak bisa memacu semangat dan prestasi belajar mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satunya, seperti yang dicontohkan Rasulullah, adalah dengan memberi hadiah. Memberikan hadiah, apapun jenis dan bentuknya, adalah tindakan yang dapat menyenangkan hati, menambah semangat, menghilangkan kelesuan serta mendorong murid untuk lebih giat menambah ilmunya, dan masih banyak lagi menfaat-manfaat yang lain. Seorang guru harus bisa mempertimbangkan hal ini, apalagi jlka ia melihat kelesuan pada diri anak muridnya, atau ia harus berusaha merenungkan cara yang baik untuk memberi dorongan kepadanya.
Bentuk hadiah bermacam-macam, akan tetapi manfaatnya pun tetap diakui meskipun kadarnya berbeda, di antaranya yaitu:
a. Hadiah materi
Buatlah hadiah yang paling mengesankan bagi anak murid, karena di dalamnya terdapat kepuasan tersendiri ketika memperoleh hadiah itu. Riwayat berikut akan menunjukkan bagaimana Rasulullah saw. melakukan hal itu.
Dari Abdullah bin Harits berkata, "Suatu kali Rasulullah saw menyuruh berbaris kepada Abdullah, Ubaidillah serta sekelompok yang lain dari Bani Abbas, kemudian beliau berkata, "Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku, maka baginya adalah hadiah ini dan ini". Lalu Abdullah bin Harits berkata lagi, "Mereka lalu berlomba menuju kepada Rasulullah saw, sehingga di antara mereka ada yang memeluk punggung dan ada pula yang memeluk dada beliau, lalu beliau menepati janjinya (memberikan hadiah kepada pemenangnya)".
b. Hadiah dalam bentuk do'a
Hadiah dalam bentuk mendoakan anak muridnya supaya mendapat berkah, kebajikan, pertolongan, dan lain lain, bisa juga dilakukan oleh guru. Cara ini mulia, tetapi sedikit guru yang melakukannya. Mengapa? Mungkin karena hal itu tidak disukainya, atau mungkin pula karena ia tidak tahu. Jika jawabannya ia memang tidak menyukainya, kenapa hal itu telah dilakukan oleh Rasulullah saw, dan jika jawabannya ia tidak tahu, maka inilah yang harus ia ketahui.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Nabi saw. masuk kamar kecil, lalu aku meletakkan kepadanya air wudhu, beliau lantas berkata, "Siapa yang meletakkan ini?". Lalu ia memberitahukannya. Kemudian Rasulullah berdoa, "Ya Allah, berilah pemahaman bagi Ibnu Abbas perihal keagamaannya".
c. Hadiah pujian
Hadiah bisa pula berupa pujian, seperti ungkapan "bagus", "baik", dan lain lain. Metode ini dapat menanamkan suatu keyakinan akan ilmu yang dimilikinya dan mendorong anak lain untuk memperoleh penghargaan yang sama. Contoh :
1) Ibnu Ka'n berkata, Rasul saw. bersabda:
"Wahai Abul Mundzir! Apakah engkau mengetahui ayat Al-Quran yang paling mulia7". la berkata, saya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang leblh tahu". Beliau berkata lagi, "Wahai Abul Mundzir! Apakah engkau mengetahui ayat manakah yang paling mulia?" la berkata, saya menjawab, "Allaahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum". la berkata, lalu beliau memukul dadaku dan berkata, "Demi Allah! Bagimu adalah kemudahan ilmu, wahai Abul Mundzir".
An-Nawawi berkata, "Dalam hadits itu terdapat suatu kebajikan yang besar untuk bapakku, bukti atas ilmunya yang banyak, bentuk penghormatan terhadap sahabat serta diperbolehkannya memuji manusia asalkan demi kebaikan dan tidak kuatir ujub, hanya demi untuk kesempurnaan jiwanya dan keteguhan takwa".
2) Abu Musa Al-Asy'ari ra. berkata:
"Suatu waktu saya mendatangi Rasulullah saw. dan beliau ada di tanah Batha". Lalu beliau berkata, "Sudahkah engkau haji?" Saya menjawab, "Ya". Beliau berkata lagi, "Bagaimana engkau bertalbiyah?" Saya menjawab, "Labbaik", seperti talbiyahnya Nabi saw. Beliau lalu berkata, "Bagus!".
Mengomentari hadits di atas, Muhammad Ibnu Jamil Zainu berkata, "Seorang guru yang baik, haruslah memuji muridnya, jika la melihat ada kebaikan atas usaha dan prilaku yang ditempuhnya itu, yaitu dengan mengatakan kepadanya kata-kata, "Bagus", "Semoga Allah memberkatimu", atau dengan ungkapan, "Engkau murid yang baik". Kata-kata seperti itulah yang dapat memberi semangat pada jiwa anak serta meninggalkan kesan baik dalam dirinya, sehingga membuat dia lebih mencintai guru dan sekolahnya, membuka hatinya lebih giat belajar, serta selalu antusias mengikuti pelajaran.

B. Implementasi Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam
Pendidikan yang menyenangkan adalah pendidikan yang berlangsung dalam suasana yang relaks dan tidak menegangkan, para pembelajar tidak merasa terancam, dan seluruh komponen fisik dan nonfisik mereka bebas dari tekanan. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang tampil dalam wajah yang humanis dan dalam interaksi edukatif yang terbuka dan demokratis. Konsep pendidikan yang menyenangkan (edutainment), berupaya agar pembelajaran yang terjadi berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Ada tiga asumsi yang menjadi landasannya. Pertama, perasaan gembira akan mempercepat pembelajaran, sedangkan perasaan negatif —seperti sedih, takut, terancam dan merasa tidak mampu— akan memperlambat belajar atau bahkan bisa menghentikannya sama sekali. Dalam upaya menciptakan kondisi ini, maka konsep edutainment mencoba memadukan dua aktivitas yang tadinya terpisah dan tidak berhubungan, yakni ‘pendidikan’ dan ‘hiburan’. Kedua, jika seseorang mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu, maka ia akan mampu membuat loncatan prestasi belajar yang tidak terduga sebelumnya. Dengan menggunakan metode yang tepat, seseorang bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda, dan hal ini tentu saja merupakan peluang dan sekaligus tantangan yang menggembirakan bagi kalangan pendidik. Ketiga, apabila setiap anak didik dapat dimotivasi dengan tepat dan diajar dengan cara yang benar —cara yang sesuai dengan gaya (style) dan modalitas belajarnya—, maka dia akan mencapai hasil belajar yang optimal. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah membantu anak didik untuk bisa mengerti kekuatan dan kelebihan mereka, sesuai dengan gaya belajar mereka masing-masing. Anak didik akan diperkenalkan dengan cara dan proses belajar yang benar, sehingga mereka akan belajar secara benar, yang sesuai dengan potensi dan modalitas masing-masing.
Berdasarkan asumsi di atas, dan hasil telaah terhadap berbagai konsep pembelajaran yang dikembangkan, baik dalam pendidikan Islam, maupun dalam teori-teori belajar era quantum, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan konsep edutainment dalam pendidikan Islam.
1. Menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar
Lingkungan yang bebas resiko adalah lingkungan (belajar) yang relaks dan tidak menimbulkan stres berlebihan, lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namun memberikan harapan untuk sukses yang tinggi. Dalam lingkungan dan iklim pembelajaran yang "bebas-resiko", kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh siswa tidak membuat ia disudutkan, atau bahkan dianggap bodoh, tetapi kesalahan-kesalahan siswa itu dipandang sebagai umpan-balik (feedback) bagi guru untuk memperbaiki kinerjanya.
Dalam upaya menciptakan iklim yang menyenangkan di setiap ruang kelas diperlukan adanya variasi, kejutan, imajinasi, dan tantangan. Selain itu, dianjurkan juga memanfaatkan musik untuk menciptakan suasana yang kondusif di ruang-ruang kelas. Intinya adalah anak harus merasa aman secara fisik dan emosional, seluruh atmosfer kelas haruslah bersahabat dan tidak mengancam, suasana sejak siswa-siswa memasuki ruang kelas haruslah benar-benar menyenangkan.
Program belajar hendaknya dirancang agar sesuai dengan perkembangan pengetahuan terbaru tentang otak dan belajar, yakni dengan menciptakan lingkungan belajar yang dapat mengurangi stres, juga menciptakan perasaan positif dalam diri anak didik, sehingga mereka dapat "naik tingkat" ke area otak belajar (neokorteks) sepenuhnya. Kemudian, sampaikan pengetahuan yang dapat merangsang mereka untuk berpikir, menghubung-hubungkan, membangun jaringan saraf baru, dan menciptakan sendiri makna dan nilai yang berguna bagi mereka.
Pembelajaran hendaknya bersifat sosial, sebab kerja sama di antara pembelajar akan melibatkan lebih banyak daya otak dan meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar. Selanjutnya, ajaklah pembelajar untuk sesekali bergerak (beranjak) dari tempat duduk mereka dan berikan kesempatan untuk melakukan gerakan dan aktivitas fisik sebagai bagian dari proses belajar.
2. Menumbuhkan minat belajar yang tinggi
Pembelajaran modern sangat menekankan pada pentingnya menciptakan minat dalam belajar. Sebelum seseorang melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, termasuk aktivitas belajar, disarankan untuk mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, "Apa Manfaatnya BAgiKu?" (disingkat AMBAK). Mulai dari pekerjaan sehari-hari yang paling sederhana hingga monumental yang mengubah hidup. Segala sesuatu harus menjanjikan manfaat pribadi, bila tidak bisa saja seseorang merasa tak mempunyai motivasi untuk melakukannya. Menciptakan minat memiliki keuntungan intrinsik. Ketika siswa mempunyai minat terhadap suatu subjek, dia sering mendapati bahwa hal itu membawanya kepada minat baru di bidang lainnya. Mengembangkan bidang-bidang baru ini menimbulkan kepuasan tersendiri, dan juga minat baru lainnya, sebuah reaksi berantai yang berjalan terus-menerus.
Dalam rangka menumbuhkan minat ini, maka upaya guru menjelaskan kompetensi dari materi pelajaran yang disampaikannya menjadi sangat penting, karena siswa ingin belajar ketika dia melihat manfaat dan pentingnya subjek pelajaran itu. Pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bermakna, akan menjadikan anak didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan perasaan suka tersebut proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan lancar, karena anak didik menyadari bahwa yang dipelajari dari gurunya terdiri dari bahan-bahan ilmu pengetahuan yang akan bermanfaat dan memberikan makna bagi hidupnya lebih lanjut.
3. Mengenali gaya belajar siswa
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dan kemampuan belajar, baik dalam pembelajaran di sekolah, maupun dalam berbagai situasi komunikasi antar-pribadi. Menyadari dan memahami bagaimana cara menyerap dan mengolah informasi, dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih mudah. Sebagian siswa dapat belajar paling baik dengan secara berkelompok, sedang yang lain lagi memilih adanya figur yang memiliki otoritas seperti guru; yang lain lagi merasa bahwa belajar sendirilah yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan musik sebagai latar belakang, sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi kecuali dalam ruangan sepi. Ada siswa yang memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi yang lain lagi lebih suka menggelar segala sesuatunya supaya semua dapat terlihat.
Secara umum ada dua kategori tentang bagaimana seseorang belajar: pertama, cara menyerap informasi (modalitas); dan kedua, cara mengatur dan mengolah informasi tersebut (dominasi otak). Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Konsep gaya belajar ini menyebutkan bahwa setiap orang memiliki modalitas dalam belajar, baik modalitas Visual, Auditorial, atau Kinestetik (VAK). Pelajar tipe visual menyerap pengetahuan melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditorial melakukannya melalui apa yang mereka dengar, dan pelajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing orang belajar dengan menggunakan ketiga modalitas ini pada tahapan tertentu, kebanyakan orang memiliki kecenderungan pada salah satu di antara ketiganya.
Selanjutnya, konsep modalitas ini membedakan adanya berbagai cara dalam mengolah informasi, dan di sini peran otak kiri dan otak kanan cukup menentukan. Ada dua kemungkinan dominasi otak: persepsi konkret dan abstrak, dan kemampuan pengaturan secara sekuensial (linear) dan acak (nonlinear). Ini dapat dipadukan menjadi empat kombinasi kelompok perilaku yang disebut gaya berpikir, yaitu: sekuensial konkret, sekuensial abstraks, acak konkret, dan acak abstrak. Orang yang termasuk dalam dua kategori "sekuensial" cenderung memiliki dominasi otak kiri, sedang orang-orang yang berpikir secara "acak" biasanya termasuk dalam dominasi otak kanan.
4. Menerapkan pembelajaran berbasis aktivitas
Belajar tidak hanya menggunakan otak (sadar, rasional, dan verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh dan pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya. Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang mereka "ciptakan". Pembelajaran terjadi ketika siswa memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada.
Belajar pada hakikatnya adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak dan tubuh secara menyeluruh. Oleh karena itu disarankan agar siswa bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam poses belajar. Pembelajaran konvensional cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam jangka waktu lama. Akibatnya, terjadilah "kelumpuhan" otak dan belajar pun melambat atau bahkan berhenti sama sekali.
Mengajak para siswa untuk bangkit dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh mereka, meningkatkan peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar. Belajar berdasar aktivitas secara umum jauh lebih efektif daripada yang didasarkan presentasi, materi, dan media. Gerakan fisik meningkatkan proses mental. Bagian otak manusia yang terlibat dalam gerakan tubuh (korteks motor) terletak tepat di sebelah bagian otak yang digunakan untuk berpikir dan memecahkan masalah, sehingga menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk berfungsi secara maksimal. Sebaliknya, melibatkan tubuh dalam belajar akan membangkitkan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya. Jadi, dalam belajar jangan hanya duduk, tetapi lakukanlah sesuatu.
Memang, pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus; mereka mempelajari gagasan gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
5. Menerapkan pembelajaran kolaboratif
Aktivitas belajar terjadi karena adanya interaksi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan belajar bukan hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama.
Pada umumnya, siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pengetahuan yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki dua kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk tumbuh (berkembang) dan kebutuhan pada rasa aman. Orang yang dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memilih keamanan dari pada pertumbuhan. Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa dipenuhinya kebutuhan untuk mencapai sesuatu, mengambil resiko, dan menggali hal-hal baru.
Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika mereka belajar bersama teman, mereka mendapatkan dukungan emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki saat ini. Keberadaan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut mereka untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka cenderung menjadi lebih terlibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya ber¬sama teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk membicarakan apa yang dialami bersama teman, yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut.
Kegiatan belajar bersama (kolaboratif) dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif, namun ke¬mampuan untuk mengajar melalui kegiatan kerjasama kelompok-kecil akan memungkinkan guru untuk menggalakkan kegiatan belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan pengusaan materi pelajaran. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa akan mendorong mereka untuk tidak hanya belajar bersama, namun juga saling mengajarkan satu sama lain.
6. Menggunakan pendekatan inquiry-discovery
Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar, dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut. Dalam mengajar, guru janganlah sekedar melakukan transfer ilmu pengetahuan, atau mengorgani-sasi aktivitas-aktivitas siswa, tetapi hendaknya ia menjalankan peran sebagai "fasilitator" yang berusaha membuat para siswa belajar.
Proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal. Banyak hal yang diingat akan hilang dalam beberapa jam. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus mengolah atau memahaminya. Seorang guru tidak bisa dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya, karena mereka sendirilah yang harus menata apa yang mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Belajar akan efektif bila siswa diberi peluang untuk mendiskusikan informasi yang diterima, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan, dan mengajarkannya kepada siswa yang lain. Pembelajaran akan terjadi bila informasi yang disampaikan dapat merangsang siswa untuk berpikir, menghubung-hubungkan, membangun jaringan saraf baru, dan menciptakan sendiri makna dan nilai yang dapat dijalankan.
Demikianlah beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan konsep edutainment dalam pendidikan Islam. Sebagai sebuah konsep pembelajaran, edutainment adalah suatu rangkaian pendekatan praktis dalam pembelajaran untuk menjembatani jurang yang memisahkan antara proses mengajar dan proses belajar, sehingga diharapkan bisa meningkatkan hasil belajar. Konsep ini dirancang agar proses belajar-mengajar dilakukan secara holistik dengan menggunakan pengetahuan yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti pengetahuan tentang cara kerja otak dan memori, motivasi, emosi, metakognisi, gaya belajar, dan teknik belajar lainnya.